Home  »  Opinion   »  
Opinion

4 Mitos Tentang Mentor yang Perlu Diketahui Setiap Founder Startup

[Foto: merage.uci.edu]
[Foto: merage.uci.edu]
Banyak majalah mengenai bisnis ataupun tips karir secara umum yang selalu menyinggung perihal pentingnya keberadaan mentor bagi seorang pendiri startup. Mentor adalah suatu kebutuhan mutlak, setidaknya begitulah yang diyakini sebagian besar orang-orang yang sukses dengan bisnis yang dirintisnya. Di dunia ini kita bisa melihat nama-nama seperti Bill Gates, Steve Jobs, atau bahkan Mark Zuckerberg yang mengakui kesuksesan mereka tak lepas dari keberadaan mentor-mentor yang setia membimbingnya dalam memulai startup.

Tak hanya di luar negeri, keberadaan mentor bagi seorang founder startup juga ada di Indonesia. Seperti misalnya Alfatih Timur dengan KitaBisa.com yang sangat dipengaruhi oleh mentor Renald Kasali. Jelas sekarang kita tahu bahwa dalam sebuah bisnis yang dirancang oleh tokoh-tokoh yang keren, terdapat para mentor di baliknya yang dengan setia mendukung dan mendorong kesuksesan sebuah bisnis.

Apakah seorang mentor harus mereka yang telah sukses di bidangnya? Apakah mentor harus menguasai segala hal dalam bisnis? Faktanya pertanyaan-pertanyaan semacam itu kadang masih menyelimuti pikiran kita ketika berbicara mengenai mentor. Setidaknya ada empat mitos yang selalu muncul terkait dengan keberadaan seorang mentor bagi founder startup.


1. Mentoring harus dilakukan face to face antara mentor dan mentee

Dalam benak kita, ketika berbicara mengenai mentoring, satu hal yang terbayangkan mungkin adalah dua orang yang berbicara serius dalam sebuah ruangan dengan kopi di meja. Dua orang tersebut membicarakan banyak ide. Satu orang banyak bertanya, dan satunya lagi banyak memberikan jawaban sekaligus masukan-masukan baru kepada orang yang bertanya.

Faktanya proses mentoring tidak sesaklek itu. Memang idealnya proses mentoring dilakukan dengan berdiskusi langsung antara mentor dengan mentee agar komunikasinya menjadi lebih efektif dan diskusinya dapat hidup dengan perbincangan dua arah. Namun, keterbatasan waktu yang dimiliki oleh masing-masing orang, tidak menutup kemungkinan proses mentoring dapat dilakukan dengan cara-cara lain. Misalnya saja dengan tulisan di website atau podcast. Intinya selama seorang mentee belajar dari materi yang dibuat langsung oleh mentornya, bisa dikatakan itu adalah proses mentoring.

2. Mentor mengetahui segala hal

Mentor bukan Tuhan dan proses mentoring bukanlah sebuah talkshow dengan sesi tanya-jawab. Proses mentoring adalah komunikasi dua arah. Sehingga ada banyak kemungkinan di mana masing-masing, baik mentor maupun mentee sama-sama mengemukakan pendapatnya. Mentor pun tidak selalu benar, karena terkadang mentee yang biasanya lebih muda secara umur mampu memiliki gagasan-gagasan yang lebih fresh. Mentor barangkali menang dari segi pengalaman, namun tidak menutup kemungkinan ia juga butuh ide-ide dan masukan dari mentee yang lebih muda dan segar secara pemikiran.

3. Mentor harus dari orang yang satu bidang dengan founder

Idealnya mentor memang memiliki keahlian dari berbagai hal yang dapat menunjang bisnis yang dibangun oleh founder. Namun, bukan berarti ia harus orang yang datang dari latar belakang yang sama. Memilih mentor bukan didasarkan pada keahlian apa yang ia punya. Meski faktor ini juga penting, namun lebih penting bagi founder untuk menemukan mentor yang memiliki “value” yang sama. Dengan demikian, ia akan lebih paham mengenai konteks dan jalan pikiran dari founder yang menjadi menteenya.

4. Seorang Mentor haruslah mereka yang pernah jadi entrepreneur atau CEO sukses

Meskipun kesuksesan seorang mentor menjadi salah satu bukti dari kualitas yang ia miliki, tetapi ada masanya ketika mentor justru datang dari mereka yang justru berkali-kali gagal menjadi founder. Dari mentor yang pernah mengalami kegagalan berkali-kali, justru seorang founder akan lebih banyak mendapatkan ilmu. Ia bisa belajar dari kegagalan yang dialami mentornya dan menjadikan itu pelajaran penting agar hal yang sama tidak terjadi pada bisnisnya.