Home  »  Opinion   »  
Opinion

Anak Muda Indonesia di Industri Digital: Peluang dan Tantangannya

[Foto: pixabay.com]
Sebagai anak muda, kita sama-sama paham bahwa melihat terlalu banyak kerumitan dalam kehidupan, ingin sekali kita menjadi salah satu bagian penyelesaian masalah. Setiap anak muda pasti memiliki setidaknya satu mimpi besar yang digadang-gadang akan membantu kehidupan banyak orang. Tak perlu lah jauh-jauh, coba sekarang kita tengok berapa banyak teman kita yang jadi ‘aktivis’ di kampus atas nama perjuangan sebagai mahasiswa? Atau berapa banyak teman kita yang berjuang untuk belajar sekuat tenaga dengan mimpi kelak akan memberikan sumbangsih ilmunya kepada banyak orang?

Ya.. meski tidak memungkiri ada sebagian juga orang-orang di sekitar kita yang cita-cita terbesarnya adalah lulus dengan cemerlang dan digaji tinggi.

Sama sekali tidak ada yang salah. Toh, semua orang memang memiliki pilihan atas hidupnya masing-masing. Termasuk juga teman-teman kita yang punya cita-cita tinggi untuk memberikan perubahan bagi kehidupan banyak orang melalui startup.

Banyak orang yang mencibir anak-anak dari generasi millennial yang ‘kaget startup’ ini terlalu muluk-muluk. Mereka itu bocah ingusan, tidak tahu kondisi lapangan, tapi besar dalam angan-angan. Mimpinya selalu punya produk yang digunakan banyak orang, membantu permasalahan dalam jumlah yang besar, syukur-syukur bernilai fantastis, bakal jadi unicorn yang beritanya tersebar di mana-mana, lalu mulai rajin ngisi workshop dan sesekali ceramah motivasi bagaimana menjadi entrepreneur yang sukses. Sama sekali nggak ada yang salah.

Ketidaksesuaian cita-cita dan kemampuan


Dalam tesisnya, Victor Medina, seorang lulusan Master Program International Business and Intercultural Management Heilbronn University di Jerman, meneliti tentang persepsi dan motivasi pada mahasiswa Indonesia mengenai trend technopreneurship yang sedang naik daun di Indonesia. Medina melakukan sebuah survey yang ditujukan pada mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.Hasilnya cukup mengejutkan, yakni para mahasiswa memiliki minat yang cukup tinggi dalam dunia bisnis, khususnya technopreneurship. Sebanyak 69% responden dalam survey menyatakan bahwa mereka ingin membangun sebuah bisnisnya sendiri kelak setelah lulus dari perguruan tinggi dengan dominasi, yakni sebanyak 62% ingin memulainya di bidang bisnis digital.

Hasil ini tentunya sedikit banyak dipengaruhi oleh trend ‘kaget startup’ yang memang belakangan sangat menggemparkan Indonesia. Yang dulunya berita-berita online hanya dipenuhi gossip artis, kini gossip mengenai si A menginvest startup B dan si C diakuisisi oleh D menjadi satu buah bahan yang tak kalah menarik untuk diperbincangan.

Sayangnya, di tengah keinginan yang menggebu-gebu untuk menjadi pebisnis atau lebih khusus founder startup itu, ada sebuah masalah yang luput untuk diselesaikan terlebih dahulu, yakni perihal komponen-komponen yang dibutuhkan untuk menjadi seorang founder dan membangun bisnis itu sendiri.

Sejauh ini, inovasi memang menjadi komponen utama yang harus dimiliki oleh seorang calon founder. Tentunya dengan tidak melupakan berbagai hal lain seperti misalnya ketersediaan informasi, skill profesional, kreativitas, dan juga modal. Sayangnya, berbagai komponen inilah yang luput untuk menjadi konsentrasi bagi setiap orang yang ingin menjadi seorang founder.

Tantangan ke depan

Akan menjadi sangat menarik jika melihat hasil survey di mana sebagian besar anak muda Indonesia nyatanya masih memiliki minat yang cukup tinggi untuk membangun bisnis, khususnya startup. Terlebih melihat potensi digital di Indonesia yang sangat tinggi.

Hanya saja, harus menjadi PR bersama untuk sama-sama menyiapkan bagian-bagian yang luput dalam upaya membangun kekuatan dalam bisnis digital. Bagaimanapun Indonesia masih memiliki permasalahan di bidang human resource, terutama dari segi kurangnya skill profesional yang mutlak diperlukan oleh setiap orang yang ingin menjadi bagian dari bisnis itu sendiri.

Dengan lemahnya kemampuan dari segi manusianya itu sendiri, akibatnya banyak orang beranggapan bahwa cita-cita untuk menjadi agen perubahan dan segala macam itu hanyalah angan-angan kosong. Ujung-ujungnya, anak muda akan kembali dicap sebagai anak bawang yang tidak tahu apa-apa, namun memiliki mimpi besar untuk menyelesaikan segalanya.