Home  »  Opinion   »  
Opinion

Apakah Cuma Orang Indonesia yang Sering Membajak Buku dan Jurnal Ilmiah?

[Foto: pixabay.com]
Era digital artinya era keterbukaan. Tak susah mencari contoh-contohnya, mulai dari penerapan smart government sampai literasi informasi yang dilakukan banyak pihak, dari instansi pemerintah maupun swasta. Netizen sebagai user pun telah dimanjakan dengan banyak hal yang sifatnya gratis, entah itu legal maupun tidak. Maka dari itu, ketika naskah-naskah akademik berkualitas dikunci dan hanya dibuka untuk segelintir orang yang mau merogoh koceknya dalam-dalam, menjadi maklum kalau situs pembajakan sepopuler Sci-Hub lahir sekaligus marak digunakan.

Kemunculan Sci-Hub bisa dimaknai sebagai pemberontakan terhadap komersialisasi ilmu. Pasalnya, harga untuk membeli buku atau jurnal ilmiah tidaklah murah. Dengan harga per judul sebesar ratusan ribu hingga jutaan rupiah, para periset maupun mahasiswa jelas membutuhkan dana besar untuk membuat temuan serta pemikiran penting atau sekadar lulus dari bangku perguruan tinggi. Namun di Sci-Hub, ada lebih dari 58 juta academic paper yang bisa diunduh secara gratis. Jumlah itu pun terus bertambah karena setiap harinya ada buku atau jurnal baru yang diunggah.

Situs yang tanggal 16 bulan ini genap berusia enam tahun itu pun menjadi rujukan banyak scholar, tak cuma mereka yang datang dari negara berkembang, tetapi juga negara berada. Jika melihat data log dari server Sci-Hub sedari September 2015 sampai Februari 2016 yang disediakan ScienceMag, tampak hot spot di peta global yang menunjukkan tinggi rendahnya request netizen dalam mengakses situs itu. Dalam rentang waktu tersebut, ada 28 juta permintaaan unduhan dari beragam negara, termasuk di Indonesia, dengan subjek yang paling sering di-request dari domain sains. Yang unik, di Eropa maupun Amerika Serikat, hot spot-nya tampak tak kalah tebal dibandingkan di Indonesia. Artinya, konsumen buku dan jurnal ilmiah bajakan ini juga datang dari negara maju.


Hot spot negara pengakses Sci-Hub

Fenomena tersebut jadi kian miris karena setelah didalami lebih lanjut, Amerika Serikat tercatat sebagai negara kelima yang paling rajin mengunduh konten di Sci-Hub. Bahkan, seperempat dari request yang diterima Sci-Hub datang dari 34 negara yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development. Ya, organisasi itu menampung negara-negara kaya yang besar kans mereka sudah menyediakan akses jurnal terbaik pada warganya.

Praktis, eksistensi Sci-Hub membuat publisher ternama meradang. Elsevier, penerbit asal New York yang karyanya paling banyak dibajak oleh Sci-Hub, pun melayangkan gugatan atas dasar penyalahgunaan hak milik karyanya. Sci-Hub diminta berhenti dengan tidak lanjut berupa perampasan domain sci-hub.org November 2015 lalu. Namun hingga sekarang, Sci-Hub tetap bisa dieksis karena servernya berada di Rusia dan untuk menutupnya, sistem legal Amerika Serikat tak punya daya.

Menariknya, Anda salah jika menduga Sci-Hub diciptakan oleh hacker dari negara tertinggal yang jauh dari dunia pendidikan. Sci-Hub justru diciptakan oleh seorang civitas academia: Alexandra Elbakyan. Wanita yang masih berusia 28 tahun itu membuat Sci-Hub karena ingin membantu menyebarkan ilmu pengetahuan dengan mengizinkan lebih banyak orang mengakses konten berbayar.

Menjalankan situs pembajakan academic paper terbesar plus hadangan dari pengadilan atas tudingan pencurian faktanya tak membuat upaya Elbakyan dalam mengenyam pendidikan terhenti. Ia telah mengantongi gelar sarjana dari Kazakh National Technical University dengan fokus ke sektor information security. Kepada ScienceMag 2016 silam, ia juga mengaku sedang melanjutkan studi di program master di sebuah universitas swasta yang ia rahasiakan lokasinya.

Elbakyan pun menjadi idola baru. Ars Technica menyamakannya dengan Aaron Swartz, aktivis internet yang dielu-elukan atas kontribusinya dalam mengembangkan organisasi Creative Commons, Reddit, serta format RSS untuk web feed. Bahkan tak tanggung-tanggung, The New York Times menyandingkannya dengan Edward Snowden. Sebab, Elbakyan dipandang berhasil ‘mencerahkan’ masyarakat global dengan membocorkan informasi ke publik. Di samping itu, Elbakyan dan Snowden juga sama-sama berstatus sebagai buronan.