Home  »  Opinion   »  
Opinion

Aplikasi Penunjuk Jalan Membuat Otak Tumpul, Benarkah?

[Foto: forbes.com]
Kini, banyak pengguna kendaraan bermotor yang sepertinya tidak perlu merasa khawatir jika kehilangan atau tidak mengetahui arah jalan. Berkat aplikasi penunjuk jalan, sebut saja Waze atau Google Maps, mereka bisa dengan mudah mendapatkan penunjuk jalan di smartphone. Bahkan, sistem penunjuk jalan sudah menjadi fitur yang terintegerasi dengan head unit mobil.

Banyak manfaat yang didapat jika menggunakan aplikasi penunjuk jalan, diantaranya:

-Saat pertama kali menuju ke satu kota, bisa saja pengemudi melewatkan tikungan yang mengarah ke tujuan dan berakhir salah jalan. Akhirnya, harus balik kembali untuk mengambil jalan yang menuju kota tujuan. Dengan aplikasi penunjuk jalan, maka hal ini bisa dihindari.

-Ketika berkendara, ternyata rute yang diambil sedang terjadi banjir hingga jalan ditutup. Sementara, kendaraan sedang menuju ke sana. Pengemudi bisa mencari jalur alternatif melalui peta di smartphone.

-Memberikan jumlah jarak yang akan ditempuh. Misalnya ketika melakukan perjalanan ke kota tujuan, maka pengemudi bisa memperkirakan kebutuhan bahan bakar.

-Memberikan arahan dengan suara, seperti arah berbelok ke kiri dan ke kanan, termasuk perkiraan berapa meter tikungan kendaraan untuk berbelok.

Hingga kini, banyak orang yang masih memercayakan perjalanan pada rute yang ditunjukkan GPS (Global Positioning System) tersebut. Namun,  ada pula orang yang masih menggunakan cara konvensional, dan menganggap ada hal yang tidak bisa diakomodasi oleh teknologi komputer tersebut.

Tentu saja kedua cara itu bertujuan untuk membuat pengemudi sampai di tujuan. Namun, salah satu cara yang digunakan tersebut ternyata bisa meningkatkan kemampuan otak.


Sebuah studi yang dilakukan oleh para peneliti dari University College London, menemukan dua area di bagian otak. Area itu berhubungan dengan arah jalan di wilayah hippocampus dan terkait pengambilan keputusan pada bagian prefrontal cortex, yang bekerja ketika pengendara salah jalan atau ketika melihat beberapa jalan yang harus dipilih sepanjang rute perjalanan mereka.

Para peneliti mencoba mengamati otak dari 24 sukarelawan yang dijadikan bahan uji coba, yakni dengan melakukan simulasi berkendara. Beberapa menggunakan rute yang sudah disiapkan (pengemudi 1) dan sisanya tidak (pengemudi 2).

Pada ‘pengemudi 1’ tidak tampak ada aktivitas tambahan di otak mereka. Sementara, ‘pengemudi 2’ menunjukkan kepekaan terhadap kekusutan jaringan jalan London, dan membuat otak bekerja, seperti mulai merencanakan, memutuskan, dan menuai hasil dari penemuan mereka.

“Hasil kami cocok dengan deskripsi hippocampus yang menyimulasikan perjalanan di jalur yang mungkin dilalui di masa depan. Sedangkan prefrontal cortex, membantu kita untuk merencanakan mana yang akan membawa kita ke tujuan,” ungkap Hugo Spiers, profesor dari University College London of Experimental Psychology, seperti dilansir dari Car and Driver.

Menurut Spiers, ketika memiliki teknologi yang memberitahu orang ke mana harus pergi, bagian-bagian dari otak tidak akan merespon jaringan jalan. “Artinya, itu akan mematikan otak dari sesuatu yang menarik dari jalan-jalan di sekitar kita,” katanya.

Spiers melanjutkan, penelitian sebelumnya pada 2011, yang dilakukan pada pengendara taksi pasca tes mengemudi, di mana mereka harus menghafal seluruh kota, area hippocampus di otak mereka membesar. Sementara, pengemudi lain di luar itu tidak, dan itu bisa menghilangkan ‘tuntutan tinggi’ pada bagian-bagian otak (melemahkannya). Studi ini diterbitkan di jurnal Nature.

“Berpikir tentang di mana Anda berada, dalam ruang dan waktu adalah sesuatu yang sehat,” ujar Spiers. Para pakar saraf pun setuju, cara terbaik untuk menjaga otak tetap aktif adalah dengan menggunakannya.

Namun, tidak bisa dipungkiri jika perkembangan teknologi sangat membantu aktivitas manusia. Aplikasi penunjuk jalan misalnya, dianggap bisa menghemat waktu karena memudahkan perjalanan tanpa perlu repot bertanya kepada orang lain.