Home  »  Review   »  
Review

Baterai “Fast Charging” Hitungan Detik Berhasil Diciptakan Ilmuwan

[Foto: flickr.com]
[Foto: flickr.com]
Sudah mengisi baterai smartphone selama berjam-jam, namun tak ada tanda-tanda daya baterai terisi penuh? Jika demikian, ada beberapa hal yang harus Anda perhatikan. Memang, kebanyakan baterai smartphone yang ada saat ini butuh waktu lama untuk diisi. Selain itu, baterai tersebut pun hanya mampu bertahan dalam beberapa jam saja.

Yang lebih menyebalkannya, ketika mengisi baterai smartphone semalaman, dan saat pagi hari Anda melihat daya baterai hanya terisi sedikit dan tidak penuh. Ada beberapa alasan mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Misalnya karena masalah kabel USB (terlilit, melingkar, memutar, rusak pada bagian ujung, dan lain sebagainya) yang dapat menghambat pengisi baterai smartphone. Bisa juga karena sumber daya seperti saat Anda mengisi baterai smartphone dengan mencolokkan ke laptop atau komputer, biasanya daya baterai akan lambat terisi.

Atau bisa jadi jika smartphone Anda terbiasa diisi menggunakan adaptor yang memiliki 2 amper, saat menggunakan adaptor lain yang berbeda dan tidak sesuai, akan mempengaruhi proses pengisian baterai.

Selain itu, bisa juga terjadi karena faktor smartphone. Dalam mengisi daya baterai, cepat atau lambat itu balik lagi terhadap prosesor yang dimiliki oleh smartphone Anda. Biasanya, prosesor yang lebih baru akan mendukung pengisian baterai dengan lebih cepat dibandingkan prosesor model lama.

Untuk mengatasi hal tersebut, para ilmuwan dari University of Central Florida (UCF) pun memutuskan mencari solusinya. Hasilnya, sebuah konsep baterai dengan teknologi supercapacitor yang memiliki daya 20 kali lebih besar.


Baterai dengan teknologi tersebut digadang-gadang dapat diisi ulang hanya dalam hitungan detik. Tidak hanya cepat, listrik yang tersimpan dalam perangkat juga bisa lebih lama, sekitar satu minggu. Hal itu karena supercapacitor tidak membutuhkan reaksi kimia untuk membuat daya listrik.

“Anda bisa mengisi baterai ponsel dalam hitungan detik dan tidak perlu mengisi ulang hingga lebih dari satu pekan,” ujar salah satu ilmuwan UCF yang terlibat proses pembuatannya, Nitin Choudhary.

Menurut para ilmuwan pembuatnya, cara kerja dari supercapacitor adalah dengan memungkinkan elektron melewati core ke bagian cangkang. Dengan begitu, proses tersebut dikatakan dapat menghasilkan daya dan pengisian yang lebih cepat.

Selain dapat menampung daya yang besar, baterai dengan supercapacitor juga dapat digunakan pada perangkat wearable. Ini karena bentuknya yang fleksibel sehingga dapat mengikuti bentuk dari setiap perangkat.

Proyek yang masih dalam tahap prototipe ini dikatakan punya kemampuan dan cara kerja berbeda dibanding baterai biasa. Baterai ini memanfaatkan lempengan dua dimensi, biasanya berupa graphene, untuk menyimpan listrik.

Kemudian, lempengan dua dimensi itu dililitkan di sekitar kabel satu dimensi berukuran nano. Tebal lilitan pun diatur hanya setebal beberapa atom saja. Efeknya, elektron bisa bergerak cepat dari bagian inti hingga kulit terluar. Daya listrik bisa disimpan dengan lebih cepat dan daya tahannya pun cenderung lebih kuat dibanding baterai biasa.

Ilmuwan lainnya, Yeonwoong Jung seperti dilansir dari engadget, mengatakan bahwa mereka mengembangkan sintesis kimia yang relatif sederhana, sehingga materi dua dimensi dan materi dasar bisa disatukan dengan mudah.

Para ilmuwan mencatat bahwa pada purwarupa tersebut, baterai supercapacitor masih terlihat seperti baru, bahkan setelah diisi ulang sekitar 30.000 kali. Artinya, daya tahan baterai supercapacitor sekitar 20 kali lipat lebih lama dibanding baterai lithium-ion biasa.

Meski terlihat menjanjikan, teknologi supercapacitor ini hanya dibuat sebagai bukti sebuah konsep. Jika ingin memakainya sebagai teknologi baterai komersil, masih perlu penelitian dan pemrosesan lebih mendalam. Kini, para ilmuwan pembuatnya sedang mengajukan paten untuk desain baterai supercapacitor itu.

Jadi, kapan supercapacitor diproduksi untuk tujuan komersil? Mari kita tunggu saja.