Home  »  Opinion   »  
Opinion

Belajar dari Mundurnya Para Petinggi Startup di Indonesia

[Foto: Pixabay.com]
[Foto: Pixabay.com]
Kabar keluarnya Ken Dean Lawadinata mungkin masih menyisakan pertanyaan besar di benak kita, mengapa petinggi startup yang merasakan berdarah-darahnya membangun sebuah startup dari nol justru mundur ketika perusahaan yang dirintisnya mulai tumbuh besar? Pertanyaan yang sama barangkali juga menggelayuti pikiran kita ketika Alamanda Shantika memutuskan meninggalkan Go-Jek yang ikut dirintisnya sejak awal hingga memiliki jutaan user seperti sekarang ini. Terakhir, kita dikejutkan dengan kabar mundurnya Michaelangelo Moran yang juga co-founder dari Go-Jek.

Meskipun belum diketahui alasan mengapa Mikey, begitu ia disapa, memutuskan mundur dari Go-Jek, tetapi beberapa pihak menyebut Mikey yang juga berprofesi sebagai DJ akan memulai bisnis propertinya di Bali. Sama seperti Mikey, Ken Dean mundur dari Kaskus karena melirik bisnis lain. Sementara, Alamanda memiliki alasan yang sedikit berbeda. Sebab setelah mundur dari Go-Jek, Ala masih berkecimpung di dunia IT lewat Kibar dan Gerakan 1000 Startup yang dipeloporinya.

Sepintas, mundurnya beberapa nama beken dari perusahaan yang dipandang “wow” di kalangan pelaku bisnis startup membuat kita berpikir, apakah memang pilihan mundur sesuai untuk kondisi sekarang ini?

Seperti yang kita tahu, saat ini startup Indonesia mengalami dualisme yang cukup membuat galau. Di satu sisi, pertumbuhan bisnis startup sedang gencar-gencarnya diikuti semangat ratusan bahkan ribuan orang yang memiliki cita-cita untuk membangun startup. Namun, di sisi lain kita tidak menutup mata bahwa geliat startup yang telah berjalan justru mengalami musim “paceklik”. Terlihat beberapa waktu lalu ketika startup fashion e-commerce besar di Indonesia seperti SaleStock dan BerryBenka ramai-ramai melakukan layoff terhadap ratusan karyawannya. Meski tidak semata-mata karena keuangan, tetapi layoff yang dilakukan oleh suatu perusahaan pastilah menandai adanya permasalahan di dalamnya.


Startup dan mimpi-mimpi kabur anak muda Indonesia

Masih terekam jelas di ingatan saya ketika kali pertama mengenal startup, satu hal yang langsung terlintas di pikiran saya adalah soal masa depan yang berubah. Startup mengubah banyak hal dalam kehidupan kita. Dan istimewanya, hal-hal yang berubah adalah salah satu dari sekian banyak hal yang kita tidak senangi; jam kerja yang kaku, otoritas atasan, tempat kerja bersekat, dan lain-lain.

Ekosistem di startup bagaimanapun mengubah hal tersebut. Dan itu adalah salah satu yang membuat banyak orang, terutama di kalangan anak muda, yang menaruh banyak sekali mimpi. Entah menjadi founder atau bekerja di startup, paling tidak mereka memiliki harapan dan cita-cita bahwa melalui startup, banyak hal yang bisa berubah dan bisa diubah. Maka tidak salah ketika startup mulai populer, antusiasme anak muda yang ingin terjun di sana juga semakin tinggi.

Hanya saja satu hal yang luput dari pemahaman kita adalah tidak segala hal diciptakan dengan instan. Tidak ada yang serba mudah, termasuk ketika memutuskan untuk bergabung di startup.

Sembilan puluh persen startup di dunia ini mengalami kegagalan. Seharusnya hal itu yang pertama wajib kita ketahui. Dengan demikian, setidaknya kita sadar bahwa mengambil langkah untuk terjun di startup berarti siap dengan segala kemungkinan, termasuk kemungkinan untuk gagal, dipecat, dan segala macam. Walaupun memang tidak bisa dipungkiri, kemungkinan besar sukses ataupun gagal, ada banyak hal yang bisa dipelajari selama proses tersebut.

Mundurnya mereka bukan karena menyerah

Banyak orang berpikir bahwa bekerja di startup yang serba tidak pasti adalah salah satu alasan mengapa banyak orang memilih angkat kaki. Kita pun boleh curiga barangkali baik Ala, Mikey, maupun Ken Dean sudah cukup “lelah” dengan startupnya. Namun, saya pribadi memiliki pandangan yang lain.

Satu hal yang bisa dijadikan pelajaran adalah seberapapun hasilnya, pada akhirnya, lakukan yang terbaik. Jika kita sebagai anak muda mundur dari startup dengan alasan lelah dengan ketidakpastian, saya rasa jangan pernah menyamakan kita dengan mereka bertiga. Ketiga pentolan startup tersebut mundur setelah mereka melakukan banyak hal dan membuktikan bahwa apa yang mereka lakukan sudah cukup berguna. Ken Dean mundur dari Kaskus setelah startup tersebut melejit dengan kepopuleran yang tinggi. Tak jauh beda, Mikey dan Ala mundur ketika Go-Jek sudah menjadi “unicorn” dengan valuasi yang fantastis. Ala sendiri justru menganggap mundurnya dia dari Go-Jek justru akan membawa banyak manfaat, sebab ilmu yang dulunya hanya diketahui Go-Jek, kini bisa ia ajarkan kepada seluruh orang di Indonesia.

Jadi, jika kamu anak muda yang masih menaruh mimpi pada masa depan startup yang lebih baik, saya rasa tidak perlu khawatir. Fokus kita saat ini adalah melakukan yang terbaik, pada apapun yang kita bisa. Fokus untuk berkarya, berimprovisasi, dan membangun sesuatu yang berguna. Sebab jika orang-orang muda seperti kita sudah “lelah” sebelum jadi apa-apa, mau bagaimana masa depan bangsa? Pikir sekali lagi. *ehm, berat ya. 😀