Home  »  News   »  
News

Berawal dari Medsos, Kasus-kasus ‘Penculikan Virtual’ Mulai Marak

Kasus Penculikan Virtual Mulai MArak
[Foto: Shutterstock]
Ponsel Valerie Sobel tiba-tiba berdering. Suara penelepon misterius dari seberang sana menyampaikan pesan mengerikan, “Kami memiliki jari Simone, kamu ingin melihat bagian tubuhnya yang lain?”

Lalu terdengar suara seperti putrinya, berteriak ketakutan.

“Dia memanggilku Mom (dan bilang) ‘Aku ketakutan, tolong!’” kenang Sobel.

Pada jam-jam berikutnya, para penculik meminta uang tebusan sebesan $4.000 (sekitar Rp53,2 jutaan) untuk mendapatkan putrinya kembali. Baru beberapa saat kemudian dia tahu, tidak ada penculikan. Putrinya aman. Itu adalah tipuan.

“Saya selalu terbayang hal buruk selama berhari-hari,” katanya.

Pada hari Selasa, polisi dan agen federal Amerika Serikat (AS) memperingatkan bahwa apa ancaman baru yang disebut penculikan virtual terus meningkat, dan puluhan orang sudah menjadi korban teror, saat mereka diperas, dimintai uang dalam jumlah besar oleh para penipu.

Dilansir Associated Press, Polisi Los Angeles sendiri telah menerima lebih dari 250 laporan tentang kejahatan tersebut dalam dua tahun terakhir. Orang-orang yang menjadi penipuan virtual itu telah mentransfer paling tidak $100.000 (lebih dari Rp133 juta) secara total, kata Kapten William Hayes yang memimpin Divisi Pembunuhan Perampokan di Kepolisian Los Angeles.

Sebagai perbandingan, sebenarnya penculikan yang bertujuan untuk mendapatkan tebusan jarang terjadi. Polisi Los Angeles biasanya menerima 10 sampai 15 kasus per tahun, termasuk penculikan yang dilakukan oleh anggota keluarga dan kenalan lainnya, kata Hayes.

Dalam penculikan virtual tersebut, penelepon menuntut agar korban tetap tersambung di telepon sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dengan orang yang diculik, keluarga atau orang lain.

“Jika Anda mendapat telepon seperti ini, segera tutup telepon,” kata Hayes. “Hubungi orang yang Anda cintai, yang telah ‘diculik’ tersebut.”


Biro Investigasi Federal AS (FBI) mulai menyelidiki serangkaian kasus pada tahun 2013. Sebuah penyelidikan multiagen yang disebut Operation Hotel Tango mengidentifikasi setidaknya 80 orang di beberapa negara bagian yang telah menerima telepon tersebut, walaupun tidak semua mengirim uang tebusan, kata Gene Kowel, yang bertindak sebagai agen khusus yang bertanggung jawab atas FBI Divisi kriminal di Los Angeles.

Namun, banyak dari kejahatan tersebut tidak dilaporkan, katanya.

“Cukup tepat untuk mengatakan bahwa ada ribuan telepon yang dibuat untuk korban di AS, terutama dari Meksiko,” katanya.

Pekan lalu, seorang wanita asal Texas menjadi orang pertama di negara tersebut yang didakwa sehubungan dengan skema penculikan virtual. Yanette Rodriguez Acosta (34) dari Houston dikenai tuduhan penipuan virtual, berkomplot untuk melakukan penipuan kawat dan persekongkolan untuk mencuci uang. Dia menghadapi hukuman 20 tahun penjara untuk masing-masing 10 tuduhan jika terbukti bersalah.

Surat dakwaan tersebut menuduh bahwa Acosta dan rekan-rekannya menggunakan nomor telepon Meksiko untuk menghubungi orang-orang di Texas, California dan Idaho. Mereka diduga membodohi orang untuk memberi mereka puluhan ribu dolar baik berupa uang tunai atau transfer secara online.

Dalam beberapa kasus, para scammers memilih kode area dan melakukan cold call, dengan harapan bisa menangkap korban yang tidak menaruh curiga, kata beberapa pejabat. Di lain pihak, penjahat bisa menggunakan media sosial untuk mendapatkan nama anak dan fakta lain yang bisa digunakan untuk menakut-nakuti korban tertentu.

Dalam kasus Sobel, dia percaya bahwa penculik palsu mendapatkan suara putrinya, mungkin dari voicemail-nya, dan kemudian menirunya dengan cara tertentu. “Saya yakin hal itu nyata,” katanya.

Ketakutan akan keamanan anak bisa menimbulkan skeptisisme, kata pihak berwenang.

Bahkan anggota Kepolisian Los Angeles Sgt. O.C. Smith pernah menjadi korban. Smith mengatakan bahwa dia menerima panggilan di ponselnya sekitar dua tahun yang lalu saat mengemudi di jalan tol.

“Ada seorang wanita berteriak ‘Ayah, Ayah tolong, saya berada di sebuah van, saya dibawa ke suatu tempat!’” kata Smith.

Meskipun dia tidak mengenali suaranya, Smith mengatakan bahwa dia tidak dapat mengabaikan risiko bahwa itu adalah putrinya. Penelepon mengancam untuk “menembakkan peluru di bagian belakang kepalanya” jika dia tidak membayar uang tebusan, kata Smith.

Dia mengatakan bahwa tuntutan tebusan palsu tersebut turun dari $ 1 juta menjadi hanya $ 350, meskipun pada akhirnya dia tidak pernah membayar. Saat berada di telepon bersama mereka, dia berhasil mencapai Torrance, California, dan meminta petugas polisi memastikan bahwa anak-anaknya aman di sekolah.

Kejadian penculikan virtual tersebut memang banyak dilaporkan di Amerika Serikat, tapi bukan tak mungkin hal serupa juga akan terjadi di Indonesia. Sebaiknya kita tetap waspada.