Home  »  News   »  
News

Fosil Berusia 1.000 Tahun Pecahkan Misteri Letusan Gunung Api Terdahsyat Sepanjang Sejarah

Danau vulkanik di Gunung Changbaishan [Foto: Wikimedia.org]
Fosil dari pohon yang mati sekitar 1.000 tahun lalu, ketika sebuah gunung api meletus dan membentuk ceruk berukuran empat kilometer di permukaan tanah di perbatasan Cina dan Korea Utara, telah membantu tim peneliti untuk menentukan tanggal dari salah satu letusan gunung api paling dahsyat dalam sejarah, yang selama ini telah menjadi misteri bagi para ilmuwan.

Mereka juga menemukan bahwa letusan yang disebut “Erupsi Milenium” dari gunung api Changbaishan, tak berhubungan dengan jatuhnya sebuah kerajaan penting di abad ke-10, seperti yang sebelumnya diperkirakan.

Para peneliti akhirnya bisa mempersempit perkiraan waktu terjadinya letusan, yang kini diketahui terjadi pada satu waktu dalam tiga bulan di musim dingin, pada tahun 946 Masehi.

Tanggal tersebut sesuai dengan keterangan yang ada pada catatan kejadian di sebuah kuil di Jepang. Menariknya, kuil tersebut terletak jauh dari gunung api manapun, dan berjarak 1.000 kilometer dari gunung api Changbaishan. Selain itu ada juga catatan kuno yang hanya berjarak 470 kilometer dari Changbaishan, dalam jarak yang cukup dekat untuk merasakan getaran. Dalam catatan tersebut tertulis “langit bergemuruh dan menggelegar,” dan ada catatan yang mengatakan pada tahun itu sejumlah amnesti telah diberikan kepada para tahanan. Nampaknya orang pada masa itu menganggap letusan gunung yang dahsyat sebagai sebuah pertanda sesuatu yang sangat buruk akan terjadi.


Erupsi gunung api Changbaishan, yang juga dikenal dengan nama Gunung Paketu atau Baekdu, telah menghasilkan abu yang cukuo untuk mengubur seluruh Inggris hingga selutut dalamnya. Nama “Erupsi Milenium” didapat karena sebelumnya para ahli memperkirakan terjadinya letusan sekitar tahun 1.000 Masehi, namun hingga saat ini, tanggal pastinya masih menjadi topik perdebatan.

Seperti dilaporkan dalam jurnal Quaternary Science Reviews, tanggal pasti dari letusan tersebut kini telah ditetapkan oleh para ilmuwan, yang berhasil menemukan sebuah fosil pohon sepanjang tiga meter dari lapisan vulkanik di gunung Changbaishan. Pemeriksaan radiokarbon membuktikan pohon tersebut mulai hidup pada tahun 775 Masehi. Ilmuwan lalu menghitung jumlah cincin pada potongan melintang batang pohon untuk mencari tahu kapan pohon itu mati, dilalap aliran piroklastik dari gunung berapi. Cincin-cincin pada batang pohon tersebut menunjukkan bahwa pohon telah menyelesaikan pertumbuhan musiman di tahun terakhirnya, menunjukkan tanggal musim dingin.

Tanggal yang ditunjukkan cincin di batang pohon lalu dicocokkan dengan catatan mengenai erupsi vulkanik yang membentuk deposit abu di dalam inti es yang digali di Greenland bagian utara.

Beberapa ahli menyakini erupsi terjadi beberapa dekade sebelumnya, dan kerusakan yang terjadi berkontribusi pada keruntuhan Kerajaan Bohai pada awal abad ke-10 di lokasi yanh saat ini dikenal sebagai Manchuria. Namun, tanggal erupsi baru yang didapat dari perhitungan cincin pohon, analisa radiokarbon, dan pencocokan dengan sampel inti es dari Islandia, membuktikan bahwa bencana tersebut ternyata terjadi 20 tahun kemudian. Hal ini membantah dugaan letusan tersebut menyebabkan runtuhnya Kerajaan Bohai.

Menurut Clive Oppenheimer, peneliti yang mengepalai tim ilmuwan, erupsi terbesar dalam sejarah tersebut telah memesona para sejarawan karena kedahsyatannya, kemungkinan pengaruhnya pada bumi dan peradaban manusia, dan misteri mengenai tanggal terjadinya.

“Karena kurangnya catatan historis mengenai bencana alam tersebut, para ilmuwan telah melakukan banyak sekali percobaan untuk mengetahui tanggal kejadian, menggunakan teknik konvensional penghitungan cincin-cincin pohon,” kata Clive. “Kami beruntung karena adanya radiasi kosmik yang terjadi di bumi pada tahun 775 M. Baru sekarang kita mengetahui radiasi tersebut telah meninggalkan tanda pada pepohonan yang hidup pada masa itu.”

Penentuan tanggal tersebut merupakan bagian dari studi ilmiah internasional terhadap gunung api Changbaishan, yang dilakukan oleh ilmuwan dari China dan Korea Utara, dibantu ilmuwan dari Barat, untuk mengetahui kemungkinan gunung tersebut akan kembali aktif.