Home  »  News   »  
News

Ini Prestasi VR Headset yang Tak Terlalu Membanggakan

PlayStation VR [Foto: Sony]
Hype virtual reality faktanya masih berlanjut di tengah-tengah gempuran teknologi baru untuk konsumen, macam smartphone dual-camera atau drone. Ya, semenjak booming-nya Oculus, Google Cardboard, serta didemonstrasikannya prototipe PlayStation VR dan HTC Vive tahun 2014 silam, akhirnya di tahun 2017 industri virtual reality mencapai milestone pentingnya.

Ya, menurut laporan dari Canalys, kuartal ketiga 2017 adalah kuartal terheboh dalam sejarah industri ini. Bagaimana tidak, sepanjang Juli sampai September, ada lebih dari 1 juta VR headset yang dikapalkan.

Dalam Q3 2017, Sony tercatat sebagai market leader dengan persentase pangsa pasar 49 persen. Perusahaan yang kini terseok-seok di industri smartphone itu mampu menjual 490 ribu set PlayStation VR. Produk yang dikenal dengan codename Project Morpheus selama tahap pengembangan itu adalah VR headset yang melengkapi experience user saat memainkan PlayStation 4.

Rahasia lancarnya penjualan Sony ini dari pantauan Canalys adalah tingginya permintaan PS VR di negara asal Sony. Berdirinya banyak VR experience zone di Jepang membuat masyarakat awam menjadi lebih dekat dengan teknologi ini.

“Sony telah mendominasi market VR headset di Jepang sejak rilisnya PS VR, dengan menguasai lebih dari 80 persen market share. Dan Sony akan mempertahankan posisi ini karena mereka meningkatkan suplai headset PS VR dengan bundling judul-judul baru dari game franchise populer mereka, termasuk DOom, Skyrim, dan Gran Turismo,” papar Jason Low dalam keterangan tertulis (27/11/17).

Sementara itu, Oculus dengan produknya, Rift, bertengger di posisi kedua. Anak perusahaan Facebook itu menjual 210 ribu unit Rift. HTC Vive VR duduk di nomor tiga dengan memegang 160 ribu penjualan. Menariknya, market share Oculus dan HTC sekalipun kalau digabung pada kuartal ini masih belum bisa menyaingi perolehan Sony.


Oculus Rift [Foto: Oculus]
Namun, hal ini tak sepenuhnya kabar baik. Soalnya, tingginya shipment wearable tersebut lebih dikarenakan potongan harga. Hal ini sesuai dengan penjelasan analis Canalys, Vincent Thielke, “Adopsi VR di segmen konsumen sangat tergantung pada harga. Dan strategi Oculus untuk menurunkan banderol terbukti meningkatkan adopsinya.”

Oculus Rift, misalnya, saat musim panas 2017, VR tersebut didiskon menjadi Rp5,4 juta saja dari harga normal Rp6,7 jutaan. Langkah ini sepertinya membuat adopsi Rift di tengah masyarakat meningkat, hingga akhirnya sekarang mereka memutuskan memotong banderol Rift secara permanen menjadi Rp5,4 juta tadi.

Untuk tahun depan, Canalys memperkirakan performa VR headset di pasaran bakal meningkat. Hal ini dikarenakan wearable tersebut kemungkinan mendapatkan dukungan dari vendor PC yang akan mengeluarkan produk baru untuk menunjang platform Mixed Reality milik Windows. Di samping itu, pemain baru juga siap bermunculan, sebut saja Tencent yang baru di April 2017 menyatakan sedang membuat VR headset baru. Kabarnya, akhir tahun ini perusahaan asal Tiongkok itu bakalan merilis VR headset-nya.

Jangan sepelekan juga Oculus yang punya target untuk merilis produk baru tahun depan. Berlabuhnya Hugo Barra, eks petinggi Xiaomi ke Facebook untuk memimpin tim Oculus, sedikit banyak bisa membantu perusahaan barunya itu. Oculus Go, VR headset standalone yang disiapkan untuk menjangkau lebih banyak user, kemungkinan bakal bisa berbicara banyak di sektor ini.