Home  »  News   »  
News

Kemenkominfo: Data Densus 88 Tunjukkan Bukti Adanya 17 Plot Terorisme di Telegram

[Foto: Shutterstock]
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Indonesia hari ini merilis data dari Badan Nasional Anti Terorisme (BNPT) yang menunjukkan bukti adanya 17 plot terkait terorisme yang direncanakan di Tanah Air melalui media sosial. Menurut data tersebut, beberapa pelaku yang dicurigai akan melakukan aksi terorisme telah menggunakan aplikasi pesan Telegram—yang baru-baru ini diblokir pemerintah—sebagai sarana komunikasi dengan satu sama lain untuk merencanakan serangan mereka.

Menurut kementerian tersebut, tersangka teroris telah menggunakan Telegram sejak tahun 2015, dan aplikasi tersebut sejak saat itu telah digunakan untuk berkomunikasi dalam perencanaan sebagian besar plot teror.

“Sejak 2015, mereka (teroris) telah memanfaatkan Telegram sebagai alat komunikasi. Dari semua plot teror yang telah ditemukan sejak saat itu, hanya dua yang tidak terlibat (Telegram),” kata Samuel Abrijani Pangerapan, direktur jenderal Aplikasi Informasi di Kementerian IT, seperti dikutip Kompas.

Di antara 17 rencana teror tersebut adalah rencana untuk membunuh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada tanggal 23 Desember 2015. Saat itu, Ahok belum menghadapi tuduhan penistaan agama—dia dijatuhi hukuman dua tahun penjara karenanya. Namun Ahok telah menghadapi banyak kampanye kebencian dari kelompok garis keras yang menolak mantan gubernur tersebut memimpin Jakarta.


“Kami mendapatkan data ini dari Densus 88 (unit kontra-terorisme Indonesia), jadi untuk rinciannya, merekalah yang tahu,” kata Pangerapan.

Selain itu, ada 16 plot lainnya termasuk dua dari serangan teror terbesar di Indonesia baru-baru ini, yakni pemboman di Sarinah di Jalan M.H. Thamrin pada bulan Januari 2016, dan pemboman Kampung Melayu pada bulan Mei tahun ini. Selain itu, ada juga plot pemboman yang gagal di beberapa lokasi pemerintahan yang penting, seperti Istana Kepresidenan dan Kompleks Parlemen, serta plot untuk mengebom beberapa gereja.

Pemerintah Indonesia menginstruksikan para penyedia layanan internet (ISP) untuk memblokir Telegram pada tanggal 14 Juli. Telegram memiliki beberapa perbedaan dibanding para pesaingnya, seperti Whatsapp misalnya. Salah satunya adalah fitur keamanan seperti chat room rahasia dan pesan yang bisa menghancurkan dirinya sendiri.

Fitur inilah yang menyebabkan para analis keamanan memperingatkan bahwa Telegram telah menjadi aplikasi pesan singkat pilihan bagi kelompok teroris, terutama ISIS. Para pengembang Telegram dilaporkan telah memblokir kanal-kanal teror dari aplikasi tersebut dalam upaya mengembalikan izin aplikasi tersebut di Indonesia.

Pavel Durov dan saudaranya Nikolai—yang membuat aplikasi tersebut pada tahun 2013—mengatakan dalam sebuah pesan kepada 40 ribu pengikutnya di Telegram bahwa dia tidak menyadari kesalahan dengan cukup cepat, sehingga tidak segera menanggapi permintaan pemerintah Indonesia untuk memblokir sejumlah kanal yang dikaitkan dengan terorisme. Namun kini mereka dilaporkan telah menutup kanal-kanal tersebut.

Telegram diharapkan dapat mengklarifikasi prosedur operasi standarnya (SOP) terkait dengan pemblokiran konten terorisme dan radikalisme di platfirm tersebut, kata Kepala Badan Nasional Anti Terorisme (BNPT) Suhardi Alius.

“Itu yang kami harapkan dari otoritas Telegram; informasi rinci akan dirilis besok oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika,” katanya di kantor agensi pada hari Senin.

Keputusan pemerintah untuk memblokir aplikasi chatting tersebut dilakukan setelah dilakukan pengamatan panjang yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan aparat penegak hukum.