Home  »  Opinion   »  
Opinion

Ketika Mahasiswa Indonesia Ingin Jadi Technopreneur

[Foto: pixabay.com]
Menjadi technopreneur bagi sebagian besar mahasiswa di Indonesia saat ini bukan lagi sebagai opsi, melainkan ambisi. Terlebih, hal tersebut kini mendapat dukungan dari pihak kampus. Beberapa kampus di Indonesia belakangan ini gencar mendorong anak didiknya untuk menjadi technopreneur. Tak hanya kampus-kampus swasta yang memang fokus pada jurusan bisnis, universitas negeri terkemuka sekelas UGM atau ITB tak mau ketinggalan dalam hal ini.

Para mahasiswa di kampus-kampus tersebut didorong mati-matian untuk menciptakan inovasi di bidang digital. Bentuk dukungan ini bermacam-macam, dari mulai brainwash melalui seminar-seminar dengan iming-iming doorprize dan sertifikat, hingga program inkubasi yang menawarkan akselerasi untuk startup yang sudah jadi.

Tak heran jika sekarang, mendengar mahasiswa atau fresh graduate menyandang status sebagai CEO bukanlah suatu hal yang asing. Bagi sebagian mahasiswa ini, membuat startup sesederhana mencari suatu masalah, menawarkan ide untuk solusi, mencari partner yang jago design dan koding, ikut inkubasi.. lalu jadi! Sebuah startup muncul dari kampus dan tampil pada berbagai kesempatan lomba ide atau planning bisnis. Jangan pernah bertanya bagaimana kelanjutan atau pengembangannya. Sebagian startup ini mentok gerak di tempat atau bubar dengan sendiri-sendiri menyusul berbagai tuntutan yang diminta orang tua bahwa sebagai sarjana mereka harus bekerja, punya karir, dll. dll.

Gap antara keinginan dan kemampuan

Tulisan ini barangkali juga menjadi otokritik, mengingat sebagai mahasiswa, saya pun termasuk ke dalam golongan orang-orang yang memiliki mimpi besar ingin membangun bisnis sendiri, menyelesaikan masalah melalui inovasi di bidang teknologi, dan lain sebagainya. Tak hanya saya, barangkali di luar sana, ribuan anak muda yang lain juga kepincut pada startup berkat iming-iming masa depan yang konon menjanjikan, bahwa katanya everything goes to digital, dan hal-hal lain yang kami lihat sebagai sesuatu yang menyenangkan; jam kerja yang bebas, kantor yang seperti playground, karir yang cemerlang di usia muda, dan lain-lain.


Hanya saja, seperti halnya mereka, saya juga melupakan satu hal dasar yang diperlukan untuk membangun sebuah bisnis, yakni pengalaman di lapangan. Kasus yang dialami saya dan teman-teman barangkali tidak terjadi pada semua mahasiswa, saya rasa. Tetap ada sih mahasiswa yang getol membangun bisnisnya meski tanpa pengalaman apa-apa lalu berhasil. Namun, tak sedikit pula yang gagal, atau kalaupun tidak bisa dibilang gagal, kondisinya bisa dikatakan miris; mati segan hidup tak mau.

Permasalahan paling nyata yang dihadapi mahasiswa dalam membangun startup adalah kurangnya pengalaman di lapangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagai mahasiswa, kacamata kami terhadap bisnis dan kondisi sesungguhnya di lapangan sangatlah jauh dari kata ideal. Hal ini bisa dipahami mengingat keadaan kampus dengan kurikulumnya yang cukup padat lebih menyita perhatian kami pada buku-buku dan jurnal ketimbang melihat kondisi pasar. Lebih jauh, sistem dalam perkualiahan sebenarnya sama sekali tidak mendukung untuk kita memahami bisnis dalam konteks yang sebenarnya. Maka, alih-alih mendukung mahasiswanya untuk menjadi technopreneur, kampus sebenarnya hanya menjadi kompor. Mengingat, sebagian besar dari orang-orang di sana boleh dikatakan tidak memiliki pengalaman yang cukup untuk memahami kondisi lapangan bisnis digital saat ini.

Problem kedua adalah kurangnya skill dasar yang diperlukan untuk bisnis. Tidak bisa dipungkiri bahwa sistem pendidikan di Indonesia bisa dikatakan selalu menempati ranking cukup buruk di dunia. Meski banyak dikatakan ke depan Indonesia akan menguasai ekonomi digital dengan startup-startup baru yang bermunculan, kenyataannya institusi pendidikan sebagai sarana untuk menyiapkan sumber daya manusia untuk mengelola dan menghidupkan ekosistem startup tersebut tidak sungguh-sungguh menanggapi.

Akibatnya, ke depan diramalkan sumber daya manusia menjadi satu isu penting dalam perkembangan startup di Indoensia. Tak usah jauh-jauh, Go-Jek, misalnya. Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusianya, Go-Jek harus mengrekrut orang-orang dari Bangalore. Sebagai aplikasi yang digadang-gadang sebagai “karya anak bangsa”, ini sih terdengar ironi. Tapi mau bagaimana lagi? Faktanya di Indonesia memang kebutuhan akan sumber daya manusia di bidang bisnis teknologi tidak bisa dijawab sepenuhnya dengan lulusan-lulusan yang dicetak dari kampus. Maka, jangankan bermimpi untuk membangun startup sendiri dan menciptakan lapangan-lapangan kerja baru, mengisisi pos untuk berbagai posisi di lapangan kerja yang tersedia saja kita tidak mampu.

Koreksi untuk semua pihak

Jika merunut pada sebab musababnya, kampus tidak bisa menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan. Lagi-lagi semua kembali pada diri individunya sendiri. Apakah mau berusaha ekstra untuk mengumpulkan kekuatan demi “perang” di lapangan atau terus-terusan berpangku tangan pada iming-iming inkubasi, ilmu dari kampus, dan syukur-syukur diinvest dosen sendiri.