Home  »  News   »  
News

Level Oksigen di Lautan Merosot Sebesar 2% dalam 50 Tahun Terakhir

[Foto: Pixabay.com]
Tahukah Anda, lautan mengisi 71 persen permukaan Bumi, dan 97 persen air yang ada di Bumi berada di laut? Tak hanya itu, 99 persen ruang hidup yang ada di planet ini juga berada di lautan. Lalu apa jadinya jika level oksigen di laut makin berkurang?

Level oksigen di lautan telah merosot secara drastis selama setengah abad ini. Menurut sebuah studi terbaru, penyebab utamanya aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan pembuangan pupuk kimia ke lautan.

Ilmuwan telah meneliti data yang dihasilkan dari survei paling komprehensif mengenai oksigen di laut selama lima dekade, dan menemukan bahwa jumlah oksigen di yang terkandung di laut telah berkurang sebesar dua persen.

Seperti dilansir dari CNN, Jumat, 17 Februari 2017, ilmuwan dari GEOMAR Helmholtz Centre for Ocean Research di Jerman mendeskripsikan pengurangan oksigen tersebut sebagai sesuatu yang “tak perlu dicemaskan” untuk saat ini, namun mereka juga memperingkatkan akan pengaruhnya yang utama terhadap makhluk laut, yang hidupnya bergantung pada oksigen, seperti halnya makhluk di darat.

[Foto: dok. GEOMAR]
“Walaupun pengurangan oksigen di atmosfir saat ini dianggap sebagai sesuatu yang ‘masih aman,’ pengurangan oksigen di lautan bisa menyebabkan konsekuensi yang cukup terasa karena distribusinya yang tidak rata,” kata ahli kelautan Lothar Stramma. “Untuk industri perikanan dan perkembangan ekonomi pesisir, proses ini mungkin bisa memberi konsekuensi yang merugikan.”


Ratusan ribu hasil pengukuran oksigen, baik yang klasik maupun kontemporer, telah dikumpulkan dan dikombinasikan untuk keperluan riset yang baru ini, termasuk data dari tempat-tempat terpencil dan dari laut dalam (lapisan terbawah di lautan), di mana perekaman data yang mendetail lebih sulit dilakukan.

“Kami berhasil mendokumentasikan distribusi oksigen dan perubahan-perubahannya di seluruh lautan untuk pertama kalinya,” kata peneliti yang menjadi anggota tim, Sunke Schmidtko. “Angka-angka ini merupakan prasyarat penting untuk meningkatkan kualitas prakiraan kondisi lautan di laut masa depan.”

Seiring dengan makin memanasnya suku di permukaan Bumi, reaksi kimia terjadi di dalam lautan: air yang lebih hangat kurang efisien dalam mengikat gas seperti oksigen, dan dengan demikian, oksigen jadi mudah lepas ke atmosfer dan meninggalkan lautan.

Air yang bersuhu lebih hangat juga lebih ringan dan ekspansif, sehingga oksigen sulit menembus hingga kedalaman laut. Sebagai penyebab utama penurunan oksigen di laut, peneliti menemukan bagian-bagian air yang tak memiliki kandungan oksigen dan kini jumlahnya meningkat empat kali lipat sejak tahun 1960.

Penurunan terbesar adalah lautan di Utara dan Equatorial Pasifik, yang menyumbang hampir 40 persen dari keseluruhan penurunan dua persen. Ini adalah kabar buruk bagi segala makhluk hidup yang ada di lautan, dan juga ekosistem Bumi secara keseluruhan yang akan terganggu keseimbangannya.

Menurut prediksi para ilmuwan, seiring dengan makin berkembangnya fenomena unu, maka makin banyak wilayah di lautan yang tak bisa dihuni makhluk hidup. Hal ini akan menyebabkan zona kehidupan yang terfragmentasi di laut dan tekanan lebih berat terhadap makhluk laut.

Para ilmuwan memperingatkan “implikasi yang sangat luas terhadap ekosistem laut dan industri perikanan” dan berdasarkan tren yang ada saat ini, mereka memperkirakan adanya penurunan level oksigen sebesar satu hingga tujuh persen antara tahun ini hingga tahun 2100.

Jika prediksi tersebut terbukti kebenarannya, maka kita harus segera bertindak untuk menghadapi perubahan iklim dengan segera.

Dari banyak masalah yang kita lihat, mulai dari kelalaian manusia yang menyebabkan pemanasan global hingga pencemaran lautan, hal-hal buruk yang telah kita lakukan dan menyebabkan kerusahan di laut nantinya akan berbalik kepada kita dalam berbagai cara, seperti rantai makanan yang beracun dan meningkatnya suhu lautan, yang berefek kepada pola-pola cuaca global.

Berita baiknya, kini para ilmuwan memiliki lebih banyak data daripada sebelumnya untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi, dan bagaimana respon yang diperlukan. Investigasi pun masih terus berjalan.

“Kami berharap bisa mengumpulkan data lanjutan mengenai perkembangan regional, yang juga akan membantu kami memahami tren global,” kata Stramma.

Hasil riset ini telah dipublikasikan di Nature Journal.