Home  »  Tips & Guide   »  
Tips & Guide

Marak Tindakan Persekusi di Media Sosial, Begini Cara Menangkisnya

[Foto: huffpost.com]
Jika dahulu kata ‘kejam’ kerap dihubungkan dengan Ibu Kota Jakarta, bisa jadi, kini kata itu juga berlaku di media sosial. Pasalnya, akhir-akhir ini, media sosial menjadi ajang tindakan persekusi. Seperti apa tindakan tersebut?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tindakan persekusi berarti pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Biasanya, ajakan ini diserukan terhadap sebuah unggahan di media sosial yang menyinggung kelompok tertentu.

Parahnya, tindakan ini dianggap sebagai pembenaran. Sementara itu, pihak polisi sendiri menyarankan agar pengguna media sosial melapor jika merasa terancam.

Sebagai contoh kasus, seorang dokter bernama Fiera Lovita di Solok, Sumatera Barat, mengaku bahwa dirinya merasa terancam setelah didatangi kelompok tertentu terkait unggahannya di media sosial.

Nukman Luthfie, seorang pegiat media sosial mengatakan bahwa kejadian ini sudah berlangsung sejak 27 Januari, bersamaan persidangan terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

“Hingga kini sudah ada 54 orang pengguna media sosial yang dipersekusi di seluruh Indonesia. Saya melihat kasus dokter Fiera terjadi karena ada pembiaran dari aparat hukum,” ujar Nukman, seperti dilansir dari laman Viva News.

Oleh karena itu, Nukman menegaskan, “Ya (aparat) harus tegas. Komentar di medsos, kemudian di-bully masih nggak masalah. Karena diskusi. Tapi kalau sampai meneror dengan cara diburu. Itu sudah pidana,” katanya.


Selain itu, ia juga memberikan saran kepada para pengguna yang ingin bercuit di media sosial. “Ketika mem-posting sesuatu ke medsos, artinya sudah jadi konsumsi publik. Harus ingat ada hukum sosial dan hukum positif. Ini tujuannya agar pengguna lebih bijak dalam mempublikasi sesuatu,” ungkap Nukman.

3 langkah agar tidak ‘termakan’ tindakan persekusi

Terkait tindakan persekusi, Direktur Eksekutif ICT Watch, Donny B.U, memberikan saran kepada netizen untuk mempertimbangkan segala konten media sosial berdasarkan tiga langkah. Berikut adalah ulasannya, sebagaimana dikutip dari laman Kompas.

 1. Bayangkan mengucapkannya langsung

Sebelum mengunggah suatu pernyataan, komentar, berita atau meme, bayangkan jika Anda menyodorkannya langsung di hadapan orang yang dituju. Bayangkan apakah saat itu Anda benar-benar bisa menyampaikannya atau justru merasa ragu karena takut menyinggung perasaan.

Jika timbul keraguan, sudah tentu hal tersebut tidak perlu diunggah karena mungkin saja akan menyinggung orang tertentu.

“Yang harus selalu diingat adalah pesan yang akan disampaikan itu sama dengan komunikasi face to face dengan orang bersangkutan. Kalau face to face mau ngomong begitu tidak, kalau tidak ya jangan (diunggah ke media sosial),” ujarnya.

2. Pikirkan manfaatnya

Jika merasa bahwa unggahan Anda tidak akan menyinggung orang lain, pikirkan dulu mengenai manfaatnya. Apakah hal yang ingin disebarkan itu bermanfaat untuk orang lain atau ternyata tidak ada gunanya.

“Kita kan bisa memikirkannya, mengolah informasi. Kalau memang informasi itu benar, lalu ditimbang apakah perlu atau tidak, apakah memiliki manfaat atau tidak,” katanya.

3. Cek fakta dan cari informasi bandingan

Sebelum bicara di media sosial, hal yang lebih penting adalah Anda harus lebih dulu memahami fakta dan mengolah informasi tersebut. Ada banyak alat yang bisa digunakan untuk mencari tahu dan membandingkan informasi yang Anda miliki. Intinya, pernyataan atau hal yang akan diunggah ke media sosial itu jangan sampai hoax.

Donny menerangkan bahwa hal ini adalah mengenai literasi digital. “Yaitu kemampuan mengolah atau memanfaatkan informasi di media sosial, baik melalui Twitter atau lainnya. Seseorang mesti tahu cara membatasi konten yang diperlukan dan memilih informasi.”