Home  »  Opinion   »  
Opinion

Media Sosial dan Jalan Panjang Customer di Indonesia

[Foto: pixabay.com]
Berkembangnya media sosial mengubah cara orang berkomunikasi. Tak hanya pada level individu, tetapi juga meliputi bisnis, baik itu bisnis dalam skala besar maupun skala kecil. Dari perusahaan sekelas Telkomsel, hingga startup yang baru naik daun seperti Traveloka, Go-Jek, dll. Dari bank berskala nasional hingga online shop yang dimiliki mahasiswa. Media sosial memungkinkan semua orang untuk berinteraksi, termasuk dalam hal bisnis.

Sampai sini kita sepakat bahwa media sosial memungkinkan semua orang terhubung. Dua orang teman yang terpisah jarak ratusan kilometer, pejabat dengan rakyatnya, perusahaan dengan customernya adalah contoh-contoh bentuk hubungan yang mungkin timbul dari keberadaan media sosial.

Khusus dalam bisnis, dulu orang masih mengandalkan call center untuk bisa terhubung dengan perusahaan. Mereka biasanya menelepon untuk menyampaikan keluhan atau aduan-aduan mengenai produk ataupun layanan dari perusahaan tersebut. Sayangnya, cara konvensional ini memang memiliki banyak keterbatasan, seperti misalnya keterbatasan lini atau jalur telepon hingga keterbatasan tenaga untuk call center itu sendiri.

Untungnya, berkat media sosial hal-hal tersebut kini bisa teratasi. Selain lebih hemat dari segi biaya karena tidak perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk pulsa, media sosial juga menawarkan kepraktisan. Baik dari segi pengguna yang cukup menulis di post Twitter, Instagram, maupun Facebook perusahaan terkait, juga dari segi perusahaan yang memungkinkan tenaga customer service yang lebih sedikit dibanding jika mereka harus menggunakan fasilitas seperti call center.

Perlunya edukasi ke masyarakat


Ada satu hal menarik yang terjadi di timeline media sosial saya baru-baru ini, yakni sebuah post viral mengenai seseorang yang memberikan pengaduannya kepada “salah satu perusahaan transportasi online di Jakarta” karena mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari drivernya. Post tersebut viral dan berhasil mendapat ratusan share maupun komentar. Bagi saya hal seperti adalah salah satu bentuk bagaimana media sosial berhasil merevolusi cara berkomunikasi pelanggan dengan perusahaan.

Namun, satu hal yang cukup menggelitik bagi saya adalah karena statement dari si penulis status yang mengatakan bahwa ia terpaksa “membongkar” semuanya di media sosial melalui status panjang seperti ini karena perusahaan terkait tidak memiliki layanan customer service. Hm.. sampai sini saya bertanya-tanya mengenai sejauh mana edukasi pengguna di Indonesia dalam menggunakan media sosial.

Contoh kasus di atas barangkali banyak terjadi pada customer-customer lain di Indonesia. Problemnya adalah mereka sebenarnya paham mengenai efek media sosial dan fungsi-fungsinya terhadap keluhan pelanggan, tetapi masih tidak paham bagaimana mengarahkan pesan tersebut agar lebih tepat sasaran guna mencari solusi dari permasalahan yang sebenarnya dihadapi.

Menggunakan media sosial dengan cara yang paling pas

Media sosial hadir sebagai jembatan antara perusahaan dengan pelanggannya. Media sosial tidak hanya menawarkan sebuah tempat terbuka di mana kita sebagai pelanggan bisa mengungkapkan kekesalan atau komplain tertentu agar diketahui banyak orang. Lebih dari itu, sebenarnya hal yang kita cari adalah solusi dari permasalahan-permasalahan yang kita hadapi. Sering orang menanggap bahwa dengan memposting sesuatu di media sosial, masalah akan terselesaikan. Padahal sebenarnya tidak juga.

Pada kasus teman saya di atas, mungkin efek dari post viral tersebut bisa saja menjadi semacam awareness kepada user lain agar tidak mengalami hal yang sama dengan dia. Namun, masalah dia sebenarnya belum benar-benar terjawab karena belum tepat sasaran. Dalam arti, perusahaan yang ingin dia komplain sesungguhnya bisa jadi belum tahu bahwa ada salah satu pelanggannya yang memiliki problem seperti yang teman saya alami. Benar sih jika tujuannya adalah untuk peringatan agar pengguna lain hati-hati, model post viral seperti itu bisa jadi efektif. Tetapi, toh dia belum mendapatkan solusi yang paling tepat dari sasaran yang sebenarnya, yakni si perusahaan. Alangkah baiknya jika kemudian media sosial ini kemudian tidak hanya digunakan sebagai sebuah “tempat umum” layaknya terminal dengan banyak orang di mana kita bisa teriak-teriak dan semua orang tahu, tetapi juga sebuah “jalan” yang mengantarkan pelanggan pada tujuan yang sebenarnya kenapa teriakan-teriakan itu bisa muncul, yakni si perusahaan.