Home  »  Opinion   »  
Opinion

Mengelola Konflik dalam Membangun Startup

[Foto: pixabay.com]
Ketika pertama kali mendengar sebuah startup kecil bernama Backplane, Lady Gaga dibuat terkesima. Baginya, Backplane adalah sebuah ide yang menarik, di mana orang-orang dengan ketertarikan bidang pekerjaan yang sama berkumpul dan membentuk sebuah jejaring online. Ketertarikan itu, kemudian membawa penyanyi yang selalu tampil dengan kostum unik ini akhirnya menggelontorkan sejumlah dana sebagai investment. Nama Lady Gaga kemudian menjadi semacam icon bagi startup yang didirikan tahun 2011 ini, dengan harapan dapat menjaring user dari basis fansclub Lady Gaga itu sendiri.

Setelah bertahun-tahun dibentuk, Backplane mampu menembus berbagai investment dengan nilai valuasi yang cukup fantastis. Sayangnya, setelah bertahun-tahun pula, Backplane tidak menunjukkan performa yang maksimal. Pada pertengahan 2016 kemarin, diketahui bahwa startup ini akhirnya menemui titik keredupan. Hadirnya investor dari berbagai pihak ditambah manajemen yang buruk di dalam internal founder sendiri membuat startup ini mau tidak mau harus gulung tikar. Backplane menjadi semacam contoh di mana investment dan nama besar tidak selalu menjadi jaminan kesuksesan sebuah startup tanpa dibarengi dengan manajemen konflik yang baik, baik di antara internal founder maupun antara founder dengan investor.

Konflik memang menjadi satu hal yang selalu ada dan membayangi sebuah bisnis. Tidak peduli apakah bisnis tersebut berskala kecil ataupun besar, konflik bisa dipastikan selalu datang, terlebih dalam sebuah startup. Sekumpulan orang-orang cerdas dengan berbagai skill menonjol di bidang masing-masing memang menyebabkan startup menjadi rawan sekali dengan konflik.


Sebenarnya, konflik selalu datang dibarengi dengan penyelesaian. Dengan catatan, orang-orang yang terlibat ke dalam konflik mampu menemui jalan keluar dan menyelesaikan konflik tersebut dengan baik. Semakin besar sebuah tim atau orang-orang yang terlibat, bisa dipastikan konflik juga akan semakin berkembang. Namun, bukan berarti tanpa solusi.

Sebuah konflik yang dikelola dengan baik justru akan menimbulkan kekuatan atau performa yang jauh lebih baik dalam kerja-kerja sebuah tim. Hal tersebut telah banyak dibuktikan dalam berbagai riset psikologi yang menunjukkan bahwa performa sebuah tim justru akan meningkat setelah mereka melalui serangkaian konflik. Sebab, dalam konflik memang biasanya terdapat sebuah solusi yang akan menguatkan ikatan satu sama lain dalam sebuah tim.

Menemukan cara terbaik menyelesaikan konflik

Sebuah tim dengan berbagai latar belakang individu menjadi penyebab paling banyak sebuah konflik muncul. Tim dengan individu beragam yang tidak memiliki konflik justru dapat mengindikasikan tim tersebut tidak sehat. Konflik pun harus dibuka agar orang-orang memahami bahwa memang konflik tersebut terjadi. Tentunya, dibuthkan berbagai cara yang harus diterapkan oleh setiap individu agar konflik tersebut dapat berfungsi sebagai kontrol dalam sebuah tim dan memiliki sifat membangun.

Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk menghadapi konflik adalah kembali pada visi masing-masing individu yang tentunya harus sama dengan visi yang dianut oleh tim. Visi inilah yang merupakan fondasi bagi sebuah tim untuk tetap bersatu ketika menghadapi konflik.

Cara lainnya adalah dengan memperbesar empati pada masing-masing individu. Kerja dalam startup adalah kerja-kerja tim, itulah kenapa empati sangat dibutuhkan untuk mengerti kondisi satu sama lain. Dalam prinsipnya, semua pekerjaan memang menuntut untuk profesional. Namun, dengan visi startup yang ingin membantu orang menyelesaikan masalah, bagaimana itu terwujud jika dalam internal timnya sendiri orang-orang tidak tergerak untuk memahami permasalahan satu sama lain. Pendekatan psikologi menjadi jalan keluar paling mudah, sebab memang pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan untuk dimengerti, dengan syarat juga harus mengerti orang lain.

Dengan melakukan berbagai upaya tersebut, konflik kemungkinan besar bisa diredakan. Jika toh pada akhirnya memang tidak semua konflik bisa selesai, paling tidak, tim telah membuat skala prioritas untuk memilih mana konflik yang harus benar-benar dan mana yang harus dibiarkan selama tidak mengganggu kinerja tim secara utuh.