Home  »  Opinion   »  
Opinion

Menjadi Pendiri Startup di Kalangan Mahasiswa

[Foto: pexels.com]
[Foto: pexels.com]
Akhir-akhir ini, tren di bidang bisnis digital mulai menjamur di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Tak ayal, orang-orang pun kini beramai-ramai banting setir menjadi founder. Tidak hanya kalangan pebisnis saja yang akhirnya menekuni bidang digital ini, tetapi juga mereka yang sama sekali tidak memiliki background bisnis sebelumnya.

Menjamurnya bisnis startup di Indonesia diprediksi mampu menunjukkan tren positif bagi perekonomian bangsa. Terlebih ketika pemerintah dengan sadar mendukung penuh hal ini melalui program Gerakan 1000 Startup Digital. Masa depan perekonomian Indonesia pun digadang-gadang akan menjadi masa depannya startup. Maka, standar keren untuk para lulusan perguruan tinggi sekarang sedikit demi sedikit berubah. Tak hanya memiliki cita-cita ingin bekerja di perusahaan multinasional, sebagian dari mereka kini juga ingin ambil bagian menjadi agen perubahan, melalui startup-startup yang mereka ciptakan.

Di Indonesia, setidaknya ada beberapa kampus ternama yang memiliki program untuk pengembangan ekosistem startup. Program yang dikenal sebagai inkubator startup ini, hadir untuk membidani kelahiran-kelahiran startup dari kampus. Sebut saja Binus Startup Accelerator (Binus University), Skystar Ventures (Universitas Multimedia Nusantara), UBpreneur (Universitas Bakrie), hingga Universitas Ciputra Entrepreneurship Center. Tak ketinggalan, universitas-universitas negeri terkemuka pun kini ambil bagian untuk pengembangan startup di lingkungan akademiknya. Misalnya, SinbisUI milik Universitas Indonesia, ITBinMove milik Institut Teknologi Bandung, hingga Innovative Academy milik Universitas Gadjah Mada.

Keberadaan inkubator-inkubator tersebut, setidaknya sampai sekarang masih ditanggapi dengan baik. Sebab, banyak pihak berharap iklim entrepreneur yang ditanamkan sejak dini di kampus-kampus sedikit demi sedikit mengubah pola pikir bahwa universitas semata-mata hanyalah mesin pencetak calon buruh atau bahkan pengangguran berijazah di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan antusiasme yang tinggi mahasiswa untuk menjadi founder dan membangun startupnya sendiri.


Namun, benarkah para founder mahasiswa telah benar-benar siap dengan dunia startup yang sesungguhnya?

Tak hanya berlaku untuk founder dari kalangan mahasiswa, faktanya tidak ada yang menampik bahwa membangun startup tidak semudah kelihatannya. Meski terlihat sederhana, nyatanya proses menemukan masalah, validasi, hingga menjadi produk yang laku di pasaran membutuhkan perjuangan yang berdarah-darah. Dalam prosesnya, seorang founder tidak hanya cukup memiliki skill “ngoding” dan “membuat program”, lebih dari itu, ada banyak hal yang menjadi pekerjaan. Mulai dari membangun networking yang luas, mengasah skill yang mendalam, hingga mempelajari dunia bisnis secara umum.

Menjamurnya startup di Indonesia banyak dicibir sebagian orang hanyalah tren sesaat. Terlebih di kampus-kampus. Tak jauh beda dengan tren batu akik yang pernah booming, lama-kelamaan, orang akan bosan dengan startup. Apalagi, jika proses membangun startup ini tanpa didasari pola pikir yang sesuai.

Bagi seorang founder, skill bisa jualan dan membuat program saja rasanya tidak cukup. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran banyak pihak ketika para mahasiswa ramai-ramai membuat startup. Bukan masalah pada mereka “hanya” mahasiswa, tetapi lebih kepada sebuah pertanyaan besar, seberapa mau belajarnya mereka untuk membangun startup?

Masalah terbesar yang dialami oleh anak muda yang terkena syndrome young founder adalah mereka hanya melihat contoh-contoh sukses founder dengan startupnya. Katakanlah Mark Zurckerberg yang DO dari Harvard tapi sukses dengan Facebook atau Bill Gates yang juga DO dari Harvard lalu sukses menjadi orang paling kaya di dunia. Mereka kadang hanya melihat bagaimana Achmad Zaky sukses dengan Bukalapak atau Nadhiem sukses dengan Go-Jek Indonesia, ya karena mereka entreprenueur, punya bisnis sendiri! Tak sedikit founder, terutama di kalangan mahasiswa, yang lupa bahwa di balik suksesnya mereka semua, ada proses rumit yang harus ditempuh dan sekali lagi, tidak pernah ada yang instan.

Menjadi PR bagi siapa saja yang menasbihkan dirinya untuk menjadi founder, bahwa dengan terjun di startup, itu artinya harus siap belajar. Menjadi founder artinya bukan sekali ngoding program lalu dijual, tapi siap untuk mengasah skill lebih dari yang sekarang dimilikinya. Harus menjadi catatan bahwa dengan menjadi entrepeneur bukan berarti para sarjana kita bisa cepat kaya tanpa kerja delapan jam selama lima hari dalam seminggu.

Terlebih jika menjadi founder startup. Mental kita harus teruji, tahan dengan semua kondisi. Seorang founder harus memahami konteks bisnis, dan yang pasti, selalu siap untuk upgrading skill. Satu hal yang harus diyakini, startup adalah tentang improvisasi. Entah dari produk, ide, atau orang-orangnya sendiri. Sebab ketika berhenti berimprovisasi, itu artinya startup harus siap-siap mati.