Home  »  News   »  
News

Pemerintah Indonesia Pertimbangkan untuk Blokir Semua Media Sosial

[Foto: Shutterstock]
Setelah Telegram—aplikasi pesan singkat yang cukup populer di Indonesia—diblokir pemerintah Jumat lalu, nampaknya aplikasi sejenis dan media sosial yang kerap digunakan untuk menyebarkan konten radikal secara online juga menghadapi ancaman yang sama. Pemerintah menyatakan akan mengambil mengambil sikap tegas terhadap platform media sosial yang digunakan untuk menyebarkan konten terkait terorisme dan radikalisme.

Sehari setelah aplikasi resmi dilarang, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Indonesia Rudiantara berbicara di gelaran bertema anti-radikalisme di Universitas Padjajaran di Bandung.

Di sela acara, dia berbicara tentang kemungkinan semua layanan media sosial bisa jadi bernasib sama dengan Telegram di Indonesia, jika mereka gagal menghentikan penyebaran konten yang melanggar di platformnya, atau mengabaikan permintaan pemerintah untuk menyaring konten radikal. Menurut Rudiantara, pemerintah telah mengajukan permintaan tersebut tahun lalu.

“Hingga saat ini hanya 50% (konten radikal telah disaring) oleh penyedia platform media sosial. Ini mengecewakan,” kata Rudiantara, seperti dilansir dari Coconut.

“Jika tidak ada perbaikan, kami harus mempertimbangkan untuk mematikan semua platform (media sosial). Permintaan maaf, tapi kita mungkin terpaksa menutupnya karena kita ingin mempertahankan gagasan bahwa media sosial hanya digunakan untuk kebaikan.”

Rudiantara menambahkan bahwa larangan hipotetis semacam itu akan diterapkan secara bertahap, tidak secara total. Jika platform media sosial tidak sesuai dengan peraturan pemerintah, pemerintah pada awalnya akan membatasi iklan yang muncul di platform, dan memperkecil potensi bisnis mereka di negara ini.


Kendatipun demikian, tampaknya larangan pemerintah terhadap Telegram mungkin tidak permanen. Pejabat telah menyatakan kesediaan mereka untuk bernegosiasi dengan Telegram setelah pengembang aplikasi tersebut membuka jalur komunikasi dengan pemerintah.

Hasil negosiasi tersebut belum diketahui, namun seorang pejabat Indonesia menyarankan agar pencabutan larangan Telegram dimungkinkan jika aplikasi tersebut memperbaiki dirinya sesuai dengan peraturan Indonesia mengenai konten radikal.

Telegram memiliki fitur berbeda dengan para pesaingnya—seperti Whatsapp—dengan adanya fitur keamanan seperti chat room rahasia dan pesan yang terhapus dengan sendirinya.

Fitur inilah yang menyebabkan para analis keamanan memperingatkan bahwa Telegram telah menjadi aplikasi pesan singkat pilihan bagi kelompok teroris, seperti ISIS. Menurut data Densus 88, aplikasi tersebut telah digunakan untuk mengkoordinasikan beberapa serangan teroris di berbagai negara, termasuk di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir.

Sementara itu, Kapolri Tito Jenderal Karnavian telah mendukung larangan yang diberlakukan oleh Kemenkominfo mengenai aplikasi messenger Telegram, karena aplikasinya telah mendukung ekstrimis yang melakukan beberapa serangan di Indonesia.

“Setelah mempelajari serangan Sarinah di Jakarta dan beberapa teror di Medan, Bandung, dan Falatehan, polisi telah menemukan bahwa sebagian besar kelompok radikal telah menggunakan Telegram untuk menjalin komunikasi di antara anggota mereka,” katanya.

Kapolri menjelaskan bahwa aplikasi tersebut memiliki beberapa fitur, termasuk pesan terenkripsi yang sulit disadap oleh petugas. “Karena kebijakan privasinya, petugas kepolisian berusaha mendeteksi serangan tersebut, yang secara sporadis terjadi di negara ini,” tambahnya.

Selain fitur enkripsi, menurut Kapolri, aplikasi tersebut lebih disukai dibandingkan aplikasi orang lain seperti Whatsapp atau Line, karena bisa mengumpulkan sekitar 10 ribu anggota dalam satu grup.

Setelah larangan tersebut, polisi akan memperkuat pengawasan di internet, sambil memberlakukan undang-undang tertentu jika ada pelanggaran ditemukan. Namun bagi polisi, untuk menyamar sebagai salah satu anggota grup teroris memang sulit karena kelompok semacam itu memiliki kode khusus untuk menghindari aparat keamanan.

Menurut Kapolri, dua kelompok radikal, termasuk yang terstruktur dan tidak terstruktur, kini telah berkembang di dalam negeri. “Untuk kelompok terdahulu, intelijen tidak menemukan kesulitan dalam pemetaan rincian operasional dan struktural mereka,” katanya.