Menurutnya, struktur alga laut bisa dikombinasikan dengan logam untuk menghasilkan material baterai yang lebih baik, dan bisa diproduksi terus-menerus.
“Kami ingin memproduksi material berbasis karbon melalui jalur ‘hijau’ yang sebenarnya. Karena rumput laut dapat diperbarui, kami memilih ekstraknya sebagai prekursor dan contoh untuk mensintesis karbon berpori hirarkis,” katanya.
Yang Dongjiang bekerja dengan sebuah tim yang ditarik dari Qingdao, dari pekerjaan lamanya di Universitas Griffith, Australia, dan Laboratorium Nasional Los Alamos di New Mexico.
Mereka memproduksi nanofiber kobalt-alginat dengan struktur yang tahan lama serupa kotak telur. Fiber tersebut bisa digunakan untuk mendorong kinerja baterai dan kapasitor, perangkat elektrik yang bisa menyimpan dan melepaskan tenaga dalam banyak perangkat elektrik.
Meski sudah dipublikasikan di jurnal ACN pada tahun 2015, penemuan Yang dan timnya dipresentasikan dalam pertemuan Perhimpunan Kimiawi America di San Francisco pada awal Mei 2017.
Sebenarnya, ini bukan kali pertama para peneliti menggunakan rumput laut untuk membuat baterai yang lebih baik. Namun, Yang bersama timnya mengatakan bahwa mereka sudah mampu menambah jumlah tenaga yang tersimpan dalam masing-masing gram baterai lithium-ionnya secara signifikan. Tentunya dengan menggunakan bahan yang mereka produksi.
Yang dan timnya mengklaim, jika diproduksi dengan kualitas yang cukup tinggi, baterai ini berpotensi mampu melipatgandakan rentang waktu penggunaan mobil listrik.
Kendati begitu, penemuan ini masih jauh untuk dipasarkan. Untuk memproduksi bahan yang diperlukan dalam skala industri, Yang mengatakan bahwa lebih dari 20.000 ton rumput laut perlu dipanen setiap tahunnya.
Baterai terbuat dari daun dan beberapa natrium
Sebelumnya, para ahli dari Universitas Maryland juga berhasil menciptakan baterai ramah lingkungan, yaitu menggunakan daun dan beberapa natrium. Baterai tersebut dikembangkan menggunakan daun ek yang dikarbonisasi disemprot penuh dengan natrium, untuk menunjukkan bahwa ini bisa digunakan sebagai terminal negatif (anoda) baterai.
“Daun begitu melimpah. Yang harus kita lakukan adalah mengambilnya satu dari tanah di sini di kampus,” kata Hongbian Li dari Universitas Maryland, yang juga anggota dari fakultas di National Centre for Nanoscience and Technology di Beijing, Tiongkok.
Fei Shen, pencetus lainnya dari riset ini mengatakan bahwa bentuk alami sebuah daun sudah cocok dengan kebutuhan baterai. Kebutuhan tersebut termasuk area permukaan yang kecil dan struktur internal rumit yang bisa digunakan untuk sodium elektrolit.
Para peneliti memanaskan sebuah daun pohon ek hingga 1.000 derajat Celcius untuk menghancurkan struktur karbon daun tersebut. Lalu, mereka memasukan sodium elektrolit ke dalam pori-pori daun hingga menyerap.
Pada bagian atas daun, lapisan-lapisan karbon yang membuat daun menjadi kaku sudah berubah menjadi lembaran karbon dengan struktur nano untuk menyerap sodium yang membawa energi.
Selain itu, mereka juga akan terus bereksperimen dengan daun-daunan lain yang berbeda bentuk dan ukuran untuk menemukan struktur penyimpanan energi yang paling baik. Selain daun, mereka juga meneliti kemungkinan lain dari bahan-bahan alami, seperti kulit pisang atau kulit melon.
Kendati begitu, mereka belum berniat untuk mengomersilkan temuan mereka hingga saat ini. Semoga suatu saat kita benar-benar bisa mengisi ulang baterai ponsel dengan baterai daun yang ramah lingkungan dan juga ramah kantong.