Home  »  News   »  
News

Peneliti UGM Berhasil Kembangkan Mikroalga Lokal Menjadi Sumber Bioenergi

Dr. Eko Agus Suyono [Foto: ugm.ac.id]
Seorang peneliti sekaligus dosen Fakultas Biologi di Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Eko Agus Suyono, berhasil mengembangkan mikroalga strain lokal yang memiliki potensi sebagai sumber bioenergi. Mikroalga strain lokal, yakni Tetraselmis spp dan konsorsium mikroalga strain Glagah, telah ia teliti sejak tahun 2004.

Ia mengungkapkan, penelitiannya bermula dari keprihatinan semakin menipisnya cadangan minyak bumi di Indonesia. Sementara itu, kebutuhan energi nasional terus mengalami peningkatan.

Untuk mengatasi krisis energi di Indonesia, Eko berupaya mencari solusi dengan mikroalga sebagai sumber bioenergi. Menurutnya, keberadaan mikroalga yang cukup berlimpah di Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal.

“Indonesia memiliki potensi besar untuk mikroalga karena sebagian besar wilayah sekitar 70 persen berupa laut. Sementara keanekaragaman mikroalga di Indonesia sangat besar untuk dikembangkan menjadi bioenergi, diantaranya Tetraselmis spp dan konsorsium mikroalga strain Glagah,” kata Eko, sebagaimana dilansir dari laman resmi UGM.

Dikatakan Eko, awal meneliti mikroalga ia masih menggunakan isolat impor. Karena saat itu, Indonesia belum banyak yang menyediakan isolat lokal, dan harus didatangkan dari Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang. Akhirnya, ia pun mencoba untuk mencari mikroalga strain lokal.

Eko pun mulai menggunakan isolat lokal yang sudah dikembangkan di Indonesia, yaitu Tetraselmis sp strain Ancol dan beberapa strain lokal lainnya. Hasilnya, dari single strain fermentasi Saccharomyces cerevisiae tersebut, mampu dihasilkan bioetanol.


Sebelum itu, diperlukan proses itu dengan masa inkubasi selama 48 jam hingga akhirnya diperoleh 0,36 g etanol/g biomassa. Hasilnya, setara dengan hasil bioetanol tertinggi yang pernah dilaporkan dalam publikasi penelitian di Korea.

Meskipun terbukti mampu menghasilkan bioetanol, tetapi kultivasi mikroalga tersebut belum dapat menghasilkan biomassa dalam jumlah besar atau untuk memproduksi bahan bakar nabati yang memadai.

Kemudian, Eko mulai meneliti kembali dengan menggunakan multiple strain mikroalga hingga membuahkan hasil yang lebih baik dibanding single strain. Namun, lanjutnya, hal itu juga belum mampu menghasilkan biomassa yang besar.

Berdasar keterbatasan tersebut, Eko terus meneliti dan mengembangkan isolat mikroalga lokal yang dihasilkan isolasi dari pantai Glagah, Kulon Progo, DI Yogyakarta yang dinamai konsorsium strain Glagah. Konsorsium atau kumpulan mikroalga strain Glagah tersebut, ternyata bersimbiosis dengan bakteri untuk bahan baku biodisel.

Dijelaskan Eko, konsorsium mikroalga itu tersusun atas 6 spesies mikroalga Cyclotella Polymorpha, Cylindrospermopsis Raciborskii, Golenkinia Radiata, Syracosphaera Pirus, Corethron Criophilum dan Chlamydomonas sp. Sedangkan bakteri penyusun konsorsium mikroalga tersebut terdiri dari genus Corynebacterium, Bacillus, Pediococcus, dan Staphylococcus.

Ia memaparkan, ternyata hasilnya jauh lebih baik dibanding menggunakan single strain maupun multiple strain mikroalga.” Bisa dihasilkan biomassa dalam jumlah lebih besar,” ujar Eko yang menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Masyarakat, Kerjasama dan Alumni Fakultas Biologi ini.

Dalam perkembangannya, Eko menggunakan sistem biorefinary yang tidak hanya menghasilkan biodisel, tetapi juga produk lain seperti obat-obatan dan kosmetik, makanan, pakan dan senyawa aktif lain. Menurutnya, melalui sistem bioefinery, maka bisa bisa menekan biaya produksi biodisel sampai tiga kali lipat lebih murah.

Menurut Eko, mikroalga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk bahan bakar nabati. Penggunaan spesies ini pun tidak bersaing dengan tanaman pangan dan tidak mengurangi luas lahan tanaman pangan. Selain itu, masa panen mikroalga lebih singkat dibandingkan tanaman pangan lainnya. Mikroalga bisa dipanen di usia 3-21 hari.

Dengan temuannya tersebut, Eko optimis akan muncul berbagai penelitian lebih mendalam tentang mikroalga lokal dengan bakteri simbion. Tentunya yang bisa digunakan sebagai bahan bakar alternatif terbarukan untuk mengatasi krisis energi nasional.