Home  »  News   »  
News

Penunjukan General Manager Baru Twitter dan Upaya “Kejar Setoran”

[Foto: pexels.com]
Bagi Anda-Anda yang sudah “hidup” di Twitter cukup lama, mungkin sudah mulai merasakan sendiri bagaimana jumlah pengguna aktif di Twitter mulai menurun. Atau kalau dikomparasikan dengan media sosial yang lebih muda, pertumbuhan pemakai Twitter jelas lebih rendah karena cenderung stagnan. Hal ini otomatis akan berpengaruh langsung pada value dari Twitter itu sendiri. Karena jumlah pengguna yang masih aktif beserta pertambahannya akan mempengaruhi persepsi pengiklan dan investor yang akan masuk ke dalam Twitter.

Kasar-kasarannya begini, jika jumlah pengiklan dan investor yang ada dan berinvestasi dalam di Twitter menurun, maka pendapatan mereka pun juga akan merosot. Tak cuma itu, value dari mereka di pasar dagang seperti Wall Street juga akan berpengaruh. Supaya hal tersebut tak berlarut-larut, CEO dari Twitter, Jack Dorsey, telah memutuskan langkah strategis dalam perusahaannya, yakni dengan mempekerjakan General Manager baru pada divisi product revenue. General Manager terbaru tersebut bernama Bruce Falck, yang sebelumnya merupakan CEO dari TURN. Jack mengumumkannya petinggi baru di perusahaannya tersebut lewat akun Twitter pribadinya, Kamis (18/05/17).

Ada beragam pekerjaan yang menanti Bruce. Selain masalah income, dipekerjakannya Bruce juga dilatarbelakangi kondisi perusahaan yang sedang pelik di tahun ini. Bruce diharapkan bisa memutarbalikkan keadaan supaya kondisi Twitter lebih “sehat”. Namun, masalah yang dihadapi Twitter bukan hanya itu, tetapi juga membangun produk yang amat menarik bagi pengiklan yang secara otomatis mendorong pertumbuhan pendapatan tambahan.


Soal ini, Bruce pun harus paham kalau media sosial berlambang burung terbang itu sedang mengalami kelesuan bisnis dan periklanan dalam beberapa kuartal di 2016 dan awal 2017 ini. Bruce dan Twitter harus bergerak cepat untuk meyakinkan pengiklan supaya bersedia memindahkan uang investasi mereka dari Google dan Facebook, dua monster yang selama ini tak pernah kesusahan meraup uang dari sumber ini.

Sekilas, masalah yang dihadapi Twitter ini juga dirasakan oleh Snapchat. Strategi yang sekiranya memungkinkan untuk diadaptasi, seperti kami kutip dari TechCrunch, adalah dengan meyakinkan para pengiklan bahwa mereka memiliki inovasi produk pendukung yang lebih variatif. Minimal, harus ada tiga atau empat opsi baru yang ditawarkan Twitter dan Snapchat supaya mereka bisa mendekati nilai investasi yang dimiliki Facebook dan Google, atau setidaknya mencoba menandinginya.

Masalahnya, tidak semudah itu membuat inovasi produk. Ketika ingin membangun produk periklanan yang baik, berarti Twitter harus memanfaatkan tingkah laku yang berbeda dari pengguna Facebook dan Google. Permasalahannya adalah Twitter bersifat real time, yang bisa didefinisikan bahwa pengguna Twitter hanya akan aktif saat online. Amat berbeda dengan Facebook, yang katakanlah lebih ramah pada advertiser karena ketika Anda mengunggah sebuah status, maka status itu akan bertahan di linimasa sampai beberapa jam. Inilah yang kerap dilirik para pengiklan, ketimbang cuitan di Twitter yang akan cepat hilang. Twitter sejauh ini memang sudah mengakalinya dengan membuat algoritma yang membuat timeline bisa “tak real time” lagi alias menghilangkan sifat kronologisnya. Pun dengan memunculkan tweet dalam “In case you missed it” dan fitur Highlights, tetapi signifikansinya seperti belum terasa.

Kira-kira, bisakah Bruce Falck mengangkat kembali performa dan derajat Twitter di jagat permediasosialan? Mampukah para pemegang saham beralih ke Twitter ketika Bruce diberi kepercayaan sebesar ini? Mari biarkan waktu yang menjawabnya.