Home  »  Opinion   »  
Opinion

Perlukah Social Media Channel untuk Perusahaan B2B?

[Foto: pixabay.com]
Mengelola social media untuk perusahaan dengan model bisnis B2B memang menjadi tantangan tersendiri. Hal ini dikarenakan audiens social media umumnya bukanlah consumer yang dituju oleh perusahaan B2B. Namun, meski demikian, bukan tidak mungkin juga B2B memanfaatkan channel media sosial untuk kepentingan bisnisnya, terutama untuk kepentingan branding.

Menjalankan bisnis B2B sepintas memang hanya berupaya untuk menjangkau consumer seperti mereka yang menjadi key person dalam sebuah perusahaan. Ibaratnya, perusahaan B2B mungkin tidak perlu sering-sering eksis dalam acara-acara yang dihadiri banyak orang. Mereka cukup intens berkomunikasi dengan forum-forum manager, forum CEO, ataupun business development person dari sebuah bisnis.

Berbeda dengan perusahaan B2C yang memang berupaya untuk meraih awareness dari public sebanyak mungkin, dalam konsep branding di perusahaan B2B ada beberapa metrics berbeda yang digunakan. Namun, keduanya sama-sama berada dalam konteks channel media sosial. Sebab, bagaimanapun, branding tidak hanya sekadar agar produk dikenal oleh konsumen. Lebih dari itu, branding adalah sebuah penyampaian value dari sebuah bisnis kepada konsumen. Tidak peduli apakah kemudian konsumennya itu berasal dari publik secara umum atau hanya orang-orang tertentu dalam perusahaan yang menjadi key person untuk melakukan atau mengambil kebijakan untuk perusahaannya.


Beberapa mitos dalam branding di perusahaan B2B

Banyak pelaku bisnis B2B yang memilih untuk tidak muncul di media sosial, karena merasa bisnisnya terlalu membosankan. Audiens dari media sosial mungkin akan sama sekali tidak tertarik, sebab memang bukan mereka consumer yang ditarget.

Social media dipandang sebagai sebuah platform yang hanya ramah untuk bisnis-bisnis cantik seperti kosmetik, fashion, atau servis yang berhubungan langsung dengan customer. Pola pikir yang terbentuk akhirnya adalah bahwa social media ini kemudian berfungsi hanya sebagai ‘pengganti customer service’ yang biasa dilakukan manual melalui telepon pengaduan, kini bisa melalui media sosial. Padahal, hal tersebut hanya salah satu manfaat dari sekian banyak opportunity yang dihadirkan platform social media saat ini.

Lebih parah, banyak juga orang yang berpikir bahwa media sosial hanyalah sarana untuk promosi. Maka, tidak heran jika kemudian kita melihat timeline media sosial belakangan penuh dengan penjual yang menjajakan barang dagangannya.

Sebagai seorang social media strategist, seseorang berperan lebih dari seorang admin. Social media strategist harus memiliki kemampuan untuk mengelola social media untuk berbagai keperluan, salah satunya branding. Branding ini sendiri kemudian tidak hanya sekadar menunjukkan pada orang lain bahwa bisnis kita menjual produk tertentu, tetapi juga berupaya untuk menyampaikan value, mengedukasi, ataupun membentuk personality untuk perusahaan yang kita branding.

Perbedaan B2B dan B2C di social media channel

Ada beberapa perbedaan paling utama antara penggunaan media sosial untuk B2B dan B2C. Jika B2C umumnya fokus pada customer engagement, audience growth, ataupun brand sentiment, maka di B2B akan sedikit berbeda. Dalam social media untuk B2B, social media strategist akan lebih fokus pada bagaimana social media ini mampu mendatangkan traffic, leads, ataupun voice dari audiens yang mereka miliki di social media. Selain itu, B2B company juga lebih fokus pada analytics dari audiens, alih-alih melakukan improvisasi dalam customer service.

Social media pada akhirnya sangat terbuka untuk semua jenis bisnis, baik itu B2C maupun B2B. Lagi-lagi, semua akan dikembalikan pada kita selaku social media strategist yang bebas menentukan apa sebenarnya tujuan dari bisnis yang sedang dijalankan, serta apa yang diinginkan dari publik atas bisnis yang kita jalankan tersebut.