Home  »  Opinion   »  
Opinion

Politik Tak Sehat di Kantor: Belajar dari Kisah Mengejutkan Mantan Karyawan Uber

[Foto: Flickr.com/5chw4r7z]
Banyak pihak men-cap Uber sebagai perusahaan terburuk di Silicon Valley. Beberapa menganggap startup tersebut telah menjalankan praktek bisnis agresif yang tidak membela karyawan, juga beberapa kali terlibat bentrok dengan pemerintah di berbagai negara. Pada awal 2017 ini, Uber terlibat dua masalah yang signifikan. Pertama, tuntutan atas tuduhan pencurian teknologi dari Google. Yang kedua, kasus yang menimpa mantan karyawannya yang bernama Susan Fowler, yang mencuat ke publik.

Fowler telah menuturkan kisahnya selama jadi karyawan Uber di tahun 2015 lalu dalam blog pribadinya. Tentu saja, ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari apa yang dia alami, khususnya tentang bagaimana sebuah perusahaan bisa “ditundukkan” dengan politik kantor.

Sebagaimana dituliskan dalam blognya, Fowler bergabung dengan Uber pada November 2015 sebagai salah satu insinyur. Dia bekerja sebagai site reliability engineer (SRE). Awalnya, dia merasa senang karena bisa memilih sendiri tim yang sesuai dengan keahliannya. Namun begitu masuk salah satu tim insinyur, keanehan demi keanehan mulai terjadi.

Pelecehan seksual di hari pertama

Setelah melewati periode training, pada hari pertamanya bekerja dalam tim pilihannya, Fowler mendapat pesan singkat dari manajernya. Saat itu sang manajer mengatakan bahwa dia sedang dalam sebuah ‘hubungan terbuka’ dimana masing-masing pasangan bebas berkencan dengan orang lain. Secara eksplisit, manajer tersebut menyatakan bahwa dia sedang mencari wanita sebagai teman tidur, dan dia ingin Fowler tidur dengannya. Merasa tak nyaman, Fowler akhirnya melaporkan kejadian ini kepada HRD, namun tak mendapat tanggapan yang diharapkan. Beberapa waktu kemudian, Fowler mengetahui bahwa beberapa kolega wanitanya juga telah mendapatkan pelecehan serupa dari manajer yang sama.

HRD membela ‘high performer’ dan mengabaikan kenyamanan karyawan lain

HRD dan manajemen atas mengatakan kepada Fowler, bahwa mereka tak bisa menindak karyawan dalam ‘pelanggaran pertamanya.’ Mereka menyatakan telah menegur manajer yang bersangkutan, namun tak bisa melakukan tindakan lebih jauh karena dia merupakan seorang ‘star performer’ di kantor. Namun Fowler akhirnya menemukan bahwa HRD dan manajemen telah berbohong mengenai ‘pelanggaran pertama’ karena nyatanya ada banyak staf perempuan yang mengalami pelecehan dari orang yang sama. HRD bahkan memberi pilihan, jika Fowler ingin berada di tim yang sama, mereka tak  bisa membantunya jika mendapatkan performance review buruk dari sang manajer. Fowler akhirnya memutuskan untuk pindah tim.


Situasi kantor yang kacau akibat politik tak sehat

Selain masalah pelecehan, Fowler juga melihat betapa kacaunya situasi kantor akibat politik yang tak sehat. Dia menggambarkan manajemen tengah terlibat dalam ‘game-of-throne’ untuk memperebutkan jabatan, dan nampaknya semua manajer ‘berperang’ dengan sesama mereka dalam memperebutkan jabatan atasan langsung mereka (dan mereka tak menyembunyikannya). Ada manajer yang secara terang-terangan menyombongkan diri bahwa dalam satu atau dua kuartal, dia akan menempati posisi atasannya. Ada juga direktur yang mengatakan terus terang dalam sebuah rapat bahwa dia menyimpan informasi kritikal mengenai bisnis, dan akan menggunakannya untuk ‘menjilat’ para eksekutif.

Banyak proyek terbengkalai karena organisasi kacau

Imbas dari permainan politik tersebut mulai dilihat Fowler. Banyak proyek yang akhirnya terbengkalai, dan OKR (Objectives and Key Results) terus berubah sehingga tak ada orang yang bisa memastikan prioritas organisasi, karena prioritasnya terus berubah dan tak tercapai. Karyawan bekerja dalam ketakutan bahwa timnya akan dibubarkan, dan mereka harus bekerja dari proyek satu ke proyek lainnya tanpa ada yang selesai, dan dengan deadline tak masuk akal. Beruntung, Fowler bekerja dengan sesama insinyur yang hebat, dan mencintai pekerjaan mereka sehingga situasi bisa dipertahankan.

Performance review yang dipermainkan

Namun pada akhirnya, situasi tidak berubah sehingga Fowler merasa tak tahan dan ingin berpindah tim. Dia membukukan nilai kinerja yang sempurna, tak pernah meleset dari tenggat waktu, dan ada manajer yang menginginkan dia masuk timnya. Singkatnya, Fowler memenuhi semua syarat untuk melakukan perpindahan. Namun nyatanya, keinginannya tak diluluskan oleh manajemen. Setelah berbagai alasan yang dibuat-buat, manajemen menyatakan bahwa “masalah kinerja bukan satu-satunya aspek yang berhubungan dengan pekerjaan, tapi ada masalah lain seperti hal-hal diluar pekerjaan dan kehidupan pribadi.” Fowler akhirnya menyerah, dan bertahan hingga penilaian kinerja berikutnya.

Beberapa bulan setelah penilaian kinerja berikutnya, Fowler kembali mengajukan perpindahan. Walaupun dia mendapat nilai sempurna secara kinerja, telah menulis buku tentang pekerjaannya, dan berbicara di berbagai konferensi teknologi papan atas, dia tetap dianggap “tak memperlihatkan potensi untuk naik jabatan.”

Diskriminasi gender

Berdasarkan cerita Fowler, di dalam tubuh Uber ternyata juga sarat diskriminasi gender. Ketika pertama kali bergabung di Uber, jumlah karyawan wanita mencapai angka 25 persen. Namun pada saat dia meminta transfer, jumlahnya merosot hingga tinggal enam persen. Para wanita ditransfer ke luar organisasi, atau berhenti. Ada dua alasan, pertama adalah kekacauan di tingkat organisasi, dan adanya praktek seksisme di perusahaan. Menurut perusahaan, para wanita di Uber harus berusaha lebih keras untuk jadi insinyur yang lebih baik.

Selama bekerja di Uber, Fowler telah seringkali melaporkan pelanggaran demi pelanggaran kepada HRD. Namun ternyata, dia di-cap sebagai pengadu dan “terlalu banyak mengeluh” oleh manajemen. Setelah menerima ancaman akan dipecat, Fowler akhirnya mendapat tawaran kerja di perusahaan lain dan segera pindah.

Bagaimana, apakah ada di antara pembaca yang mengalami masalah yang sama di kantor?