Home  »  Opinion   »  
Opinion

Profesor Ini Menyarankan Agar Mimpi Jangan Diceritakan pada Orang Lain, Mengapa?

[Foto: huffpost.com]
Mimpi sering diibaratkan sebagai kembang tidur. Mimpi yang dialami seseorang, ada kalanya benar atau salah saat direfleksikan ke dunia nyata. Ada mimpi yang sifatnya menyenangkan, menakutkan, menyedihkan, atau lain sebagainya. Hingga saat ini, sederet penelitian pun belum bisa mengupas tuntas mengenai rahasia di balik mimpi.

Meski kebanyakan orang bermimpi saat tidur, hanya sedikit yang bisa mengingat isi mimpi mereka. Ketika bermimpi, sebenarnya seseorang melupakan sebagian besar mimpi tersebut. Sekitar 50 persen mimpi akan terhapus saat orang terbangun 5 menit. Lalu setelah 10 menit, orang akan melupakan 90 persen mimpi.

Oleh karena itu, mimpi yang berhasil diingat dan membekas dalam benak seseorang menjadi sesuatu yang sangat spesial dan patut diceritakan kepada orang lain. Namun, seorang profesor bernama Jim Davies dari Institute of Cognitive Science, Carleton University, menyarankan untuk tidak melakukannya.

Melalui artikelnya yang terbit 9 Mei 2017 di laman Scientific American, ia memaparkan dua teori mengenai alasan seseorang bermimpi dan mengapa mimpi terasa begitu menarik untuk diceritakan.

Pertama, teori aktivasi-sintesis yang mengatakan bahwa mimpi merupakan interpretasi dari aktivitas acak saraf tulang belakang dan otak kecil oleh otak depan manusia. Terkadang, informasi tersebut bisa kacau dan menyebabkan mimpi menjadi sangat aneh.


Selain itu, teori tersebut juga mendukung adanya interpretasi emosi melalui mimpi. Misalnya, ketika Anda mendapat mimpi buruk saat merasa khawatir di dunia nyata. Bukannya merasa khawatir karena mimpi buruk tersebut, kekhawatiran justru membuat Anda bermimpi buruk.

Teori kedua adalah mimpi sebagai persiapan untuk menghadapi situasi yang mengancam. Davis mengatakan, ada beberapa bukti yang menguatkan teori ini. Misalnya, emosi mimpi yang biasanya negatif dan topik mimpi yang berkutat pada ancaman nenek moyang seperti jatuh, dikejar, bencana alam, dan lain sebagainya.

“Elemen-elemen menakutkan ini lebih banyak terlihat dalam mimpi daripada kehidupan sehari-hari. Banyak orang bermimpi dikejar hewan, tetapi seberapa seringkah hal ini terjadi di dunia nyata?” ujar Davis. Lalu, mengapa begitu banyak orang yang senang bercerita mengenai mimpi?

Davis mengatakan, salah satu alasannya adalah karena kepercayaan bahwa dua kepala lebih baik daripada satu ketika menghadapi suatu masalah, termasuk yang seseorang lihat di dalam mimpi. Melalui diskusi, secara tidak langsung Anda berusaha untuk mempersiapkan diri jika menghadapi situasi serupa di dunia nyata.

Dalam hal ini, bias negativitas juga mempengaruhi. Secara alamiah, manusia memang akan lebih perhatian terhadap hal-hal yang negatif dan berbahaya. Oleh karena itu, mimpi yang biasanya berisi informasi negatif terasa lebih penting dari yang seharusnya.

Lalu, alasan berikutnya adalah tingkat emosi dalam mimpi. “Karena mimpi begitu emosional, mereka terasa begitu penting bagi orang yang mengalami. Namun, orang yang sekadar mendengarnya dan tidak merasakan emosinya akan kesulitan untuk mengerti,” ucap Davis.

Sebagai contoh, Anda bermimpi jatuh dari tangga. Bagi yang melihatnya sendiri dalam mimpi, pengalaman tersebut sangat menakutkan. Namun, orang lain yang tidak merasakannya bisa menganggap ketakutan Anda terhadap mimpi tersebut konyol.

Oleh karena itu, ada baiknya jika mimpi tidak dibicarakan kepada orang lain. Walaupun mimpi tersebut terasa penting dan menarik bagi Anda, hal itu akan terasa membosankan bagi orang lain yang mendengarnya.

Jadi, masihkah Anda berniat untuk menceritakan mimpi Anda kepada orang lain? Mungkin, salah satu alasan pernyataan Profesor Jim Davies adalah semata-mata ingin membuat momen mimpi Anda menjadi tidak konyol di mata orang lain.