Home  »  Review   »  
Review

Satelit Buatan Jepang Ini Dirancang untuk Menyapu Sampah di Antariksa

[Foto: davidreneke.com]
Bagi sebagian orang awam, mungkin akan berpikir bahwa lingkungan di antariksa bebas dari sampah. Namun sebenarnya, pemikiran itu adalah salah besar. Karena ternyata, beragam inovasi yang selama ini dilakukan oleh manusia dalam meneliti antariksa, menghasilkan sampah yang tidak indah dilihat.

Sadar dengan bahaya yang ditimbulkan, sebuah perusahaan Jepang bernama Astroscale menciptakan satelit untuk mengatasi masalah sampah antariksa tersebut. Rencananya, perusahaan yang berbasis di Singapura ini akan melakukan demonstrasi cara kerja satelit penyapu antariksa mereka pada Oktober 2019.

Dalam misi ini, mereka akan membuat dua jenis satelit. Pertama, satelit mini untuk menggambarkan peta orbit sampah antariksa. Kedua, satelit yang diberi nama End of Life Service (ELSA) untuk ‘menyapu’ sampah-sampah tersebut.

ELSA akan dilengkapi dengan magnet yang bertujuan untuk mengumpulkan sampah antariksa. Setelah terkumpul, sampah akan dibawa dan dibuang ke atmosfer Bumi agar terbakar.

Demi mewujudkan ambisi itu, Astroscale merekrut tim spesialis bernama “Space Sweepers” yang bertugas mengembangkan teknologi untuk akan mengangkut sampah yang terkumpul ke atmosfer.

“Dari fase konstruksi hingga peluncuran, ini adalah misi yang amat menantang,” ucap Miki Ito, Presiden Astroscale, sebagaimana dilansir dari CNN.

Namun, Astroscale tidak bekerja sendirian dalam proyek bersih-bersih luar angkasa ini. Setidaknya, NASA dan ESA sudah mempelajari cara mendekati, menangkap, dan membawa sampah antariksa keluar dari orbitnya. Jaring, lengan robot, dan harpun, adalah contoh alat yang diteliti kemungkinannya untuk mengumpulkan sampah antariksa.


Kenapa sampah di antariksa harus disapu?

Sampah antariksa berbahaya bagi satelit yang masih aktif beroperasi dan wahana antariksa lain yang sedang mengusung misi. Ukuran sampah antariksa beragam, mulai dari sebesar truk hingga hanya seukuran koin logam. Namun, berbagai ukuran objek punya dampak yang sama berbahayanya.

Tubrukan dari benda berukuran satu sentimeter saja bisa mengasilkan kekuatan yang setara ledakan granat tangan. Hal itu disebabkan oleh kecepatan objek dalam mengorbit. ESA memperkirakan, benda mati di antariksa mengorbit dalam kecepaatan 8 kilometer per detik, atau lebih cepat 10 kali dari sebuah peluru.

Jika sampah antariksa ini tidak dibersihkan, maka bukan tidak mungkin jika satelit yang menunjang kehidupan sehari-hari manusia di Bumi akan kena tabrak. “Satelit memiliki peran penting seperti ramalan cuaca, komunikasi, dan GPS,” kata Naoko Yamazaki, astronaut asal Jepang.

Terlebih, saat ini belum ada hukum yang mewajibkan pemilik benda antariksa menarik barangnya ketika sudah mati. Maka dari itu, Astroscale pun berupaya menjual jasa membersihkan antariksa lewat proyek ini. “Kalau kita tidak mencoba berkontribusi membersihkan luar angkasa, akan berbahaya bagi hidup kita,” tambah Yamazaki.

Sampah antariksa pernah jatuh 4 kali di Indonesia

Pada September 2016 lalu, jatuhnya sampah di Sumenep, Jawa Timur, menjadi peristiwa keempat jatuhnya sampah antariksa di Indonesia. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) mencatat dan mengidentifikasi empat kali peristiwa jatuhnya sampah antariksa.

Pertama, pada tahun 1981 saat bekas roket Rusia jatuh di Gorontalo. Kedua, pada tahun 1988 saat bekas roket Rusia jatuh di Lampung. Ketiga, pada tahun 2003 saat bekas roket Republik Rakyat Tiongkok jatuh di Bengkulu. Terakhir, September 2016 saat bekas roket Amerika Serikat jatuh di Sumenep, Madura.

Sampah antariksa yang jatuh di Sumenep merupakan bekas roket Falcon 9 R/B (nomor katalog 41730). Kepingan tersebut bagian dari tingkat atas roket yang digunakan untuk meluncurkan satelit komunikasi JCSAT 16 milik Jepang pada 14 Agustus 2016. Roket milik Space Exploration Technologies Corporation (SpaceX) ini diluncurkan dari Cape Canaveral Air Force Station, Florida.