Home  »  Opinion   »  
Opinion

Seberapa Penting Attitude pada Calon Employee Anda?

[Foto: pixabay.com]
Setiap orang sepertinya sepakat bahwa sebuah startup yang sukses salah satunya diawali dari orang-orangnya yang tepat. Sebuah tim dalam startup, entah itu tim founder yang menggagas terciptanya startup, atau tim besar dalam startup yang telah berkembang tentunya memerlukan kualifikasi tertentu agar bisa tergabung ke dalam tim untuk sama-sama mengembangkan startup.

Banyak orang setuju bahwa visi adalah salah satu pertimbangan penting apakah seseorang bisa dimasukkan ke dalam tim atau tidak. Visi tim mempengaruhi banyak hal dalam sebuah startup. Ia tidak hanya sebagai pemanis yang bisa ‘dijual’ kepada customer, tetapi lebih dari itu, visi mempengaruhi keseluruhan ekosistem dalam startup. Dengan visi yang sama, setiap orang yang berbeda-beda akan tetap memiliki satu pedoman untuk sama-sama berjalan maju. Itu sebabnya visi menjadi bagian penting dalam pembentukan tim di sebuah startup.

Selain mencari orang dengan visi yang sama, tentunya sebagai founder, tantangan terbesar lainnya adalah mencari orang dengan kemampuan yang diharapkan. Misalnya dia memiliki skill tertentu atau pengetahuan di suatu bidang tertentu. Penguasaan skill maupun ilmu pengetahuan ini juga menjadi bagian penting dari sebuah value yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam setiap tim. Otomatis, hal tersebut juga akan berpengaruh pada hasil yang dicapai.

Ibaratnya, tanpa tim yang mumpuni untuk pekerja, suatu pekerjaan pastilah tidak akan selesai. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa skill dan pengetahuan menjadi satu bagian penting yang juga harus dimiliki setiap orang yang akan dilibatkan dalam tim.


Skills vs attitudes

Pekerjaan merekrut talent untuk dimasukkan ke dalam tim guna pengembangan startup menjadi satu pekerjaan serius bagi seorang founder. Setelah selesai dengan visi ataupun skills, kini muncul tantangan baru yang harus diperhatikan dengan serius, yakni perihal attitude atau perilaku. Sebagian founder berpendapat bahwa dalam startup yang mereka bangun, attitude pada employee bernilai lebih utama dibanding dengan skills yang mereka miliki. Artinya, kemungkinan seseorang akan dinilai lebih baik apabila memiliki sikap-sikap yang menyenangkan sebagai rekan kerja, dibandingkan hanya kepintaran pada bidang-bidang tertentu.

Kunci utama yang menjadi pertimbangan di sini adalah kemauan untuk belajar. Jadi, apabila seseorang memiliki perilaku yang baik, meskipun skillnya terbatas, ia tetap bisa diandalkan, karena memiliki kemauan yang kuat untuk belajar. Sebagian founder bahkan berpendapat bahwa mengajari skill tertentu pada seseorang jauh lebih mudah dibanding mengubah perilaku yang terlanjur melekat pada dirinya sebagai sebuah watak atau karakter.

Iklim startup yang dinamis tentunya membuat kemauan untuk belajar menjadi semacam tuntutan. Maka bisa dipastikan bahwa mereka yang memiliki perilaku baik akan jauh lebih bernilai dibandingkan dengan mereka yang hanya mengandalkan skill tinggi, tetapi perilakunya buruk.

Ihwal dua hal tersebut barangkali hingga kini masih menjadi perdebatan. Lagi-lagi hal tersebut tidak bisa dipukul rata, dikarenakan generalisasi terlalu riskan apabila dilakukan untuk semua startup. Setiap founder tentunya memahami bagaimana iklim dan budaya dalam masing-masing startup yang dibangunnya. Hal itulah yang seharusnya menjadi pertimbangan utama untuk mencari talent-talent yang sesuai dengan apa yang ia inginkan.

Jika misalnya sebuah startup memang membutuhkan orang dengan posisi sebagai sales yang dituntut untuk agresif dan aktif bekerja secara individu, barangkali orang yang dengan perilaku ambisius dan individualis bisa saja menjadi ideal untuk masuk ke dalam startup. Sebaliknya, jika startup tersebut membutuhkan orang yang dituntut untuk bekerja secara kolaboratif, tentunya sikap terbuka dan mau diajak bekerja sama dapat menjadi pertimbangan utama.