Home  »  Opinion   »  
Opinion

Siapkah Kita dengan Lahirnya 1000 Startup Digital di Indonesia?

[Foto: pexels.com]
[Foto: pexels.com]
Berkembangnya teknologi memunculkan banyak sekali perubahan, salah satunya dalam bidang pekerjaan. Hal ini ditandai dengan munculnya varian baru dari berbagai jenis pekerjaan. Jika dulu kita hanya mengenal posisi kerja sebagai dokter, insinyur, psikolog, atau progammer, kini banyak sekali pekerjaan yang namanya terdengar sangat asing, terutama di bidang teknologi. Lebih utamanya lagi, di Indonesia.

Sebagai contoh: Product Manager, Product Owner, Growth Hacker, Social Media Strategist, UI/UX Specialist, dll. Atau bisa jadi judul-judul pekerjaan lain yang lebih “absurd”, misal “Head of Happiness Delivery”.

Datangnya Perubahan

Sebagai negara yang digadang-gadang memiliki potensi besar di bidang digital, sudah semestinya Indonesia bersiap-siap menghadapi segala perubahan. Pemerintah pun kini cukup “melek” dengan mendukung penuh munculnya inovasi-inovasi di bidang teknologi, misalnya saja mendorong program inkubasi untuk startup yang baru dibangun, membuat aturan main untuk startup fintech, hingga menyiapkan pendanaan.

Sayangnya usaha untuk mendorong terciptanya bisnis ini akan percuma jika tidak diimbangi dengan persiapan sumber daya manusia yang mumpuni. Tentu pada akhirnya nanti tidak semua orang memiliki bisnis dan menjadi entrepreneur. Ada masanya di mana bisnis itu tetap memerlukan “pekerja” yang akan menjalankan bisnisnya. Dan di sinilah salah satu tantangan terbesar bagi pemerintah kita.

Kebanggaan “semu” karya anak bangsa

Beberapa waktu lalu, CEO sekaligus Founder Go-Jek Indonesia, Nadiem Makarim, secara terbuka mengajak “driver” UberMotor dan Grab-Bike untuk bergabung ke Go-Jek jika ingin bela negara. Dengan membanggakan Go-Jek sebagai produk karya anak bangsa, Nadiem seolah “jualan” nasionalisme melalui kampanye yang jika dipikir-pikir sedikit “semu”.

Sepintas, branding Go-Jek sebagai startup karya anak bangsa yang sukses memang terdengar membanggakan. Tetapi, perlu untuk diketahui pula, bahwa ternyata Go-Jek tidak sepenuhnya “karya anak bangsa”. Sekitar pertengahan 2015 lalu, Nadiem mengatakan bahwa untuk menangani traffic yang besar, Go-Jek merekrut banyak programmer dari Bangalore, India. Programmer tersebut banyak direkrut, terutama untuk posisi back-end.


[Foto: pixabay.com]
[Foto: pixabay.com]
Kondisi Go-Jek ini setidaknya harus mulai menyadarkan kita bahwa persiapan sumber daya manusia yang akan menjalankan roda bisnis di startup ini harus mulai dilihat sebagai wacana yang serius. Tentu saja beberapa pertimbangan mengapa Go-Jek merekrut programmer dari luar adalah karena ketersediaan sumber daya di Indonesia yang kurang maksimal. Kalaupun ada, barangkali banyak pertimbangan yang membuat Go-Jek tetap memilih programmer dari luar. Salah satunya adalah “gengsi” bekerja di startup, mindset bahwa bekerja harus di korporasi untuk para lulusan perguruan tinggi, dan lain-lain.

Jika nantinya Gerakan 1000 Startup Digital dari pemerintah benar-benar sukses berjalan, akan ada suatu masa di mana demand akan sumber daya manusia tidak seimbang dengan ketersediaan resource. Terutama menyangkut pada posisi-posisi yang terlihat kurang populer di Indonesia, seperti growth hacker, back-end, UI/UX, atau bahkan digital strategist. Tentu menjadi hal yang ironis apabila di Indonesia muncul banyak startup namun untuk menjalankannya, kita tetap mengandalkan resource dari luar negeri. Lantas apa bedanya dengan perusahaan asing yang tetap mengandalkan orang dari negaranya untuk “mengeksploitasi” kekayaan alam di Indonesia?

Sumber Daya Manusia yang Lahir dari Didikan Kampus

Sebagai institusi yang mempersiapkan tenaga-tenaga ahli di Indonesia, sudah semestinya universitas cepat tanggap untuk hal ini. Berkembangnya teknologi dan segala perubahan yang menyangkut di dalamnya, mestinya juga harus ditanggapi dengan bijak oleh pihak kampus.

Sayangnya, meski beberapa kampus sudah terbuka dengan fasilitas pengembangan bisnis untuk mahasiswanya, kesiapan mereka untuk mendidik mahasiswa menjadi tenaga ahli tidak terlihat sungguh-sungguh. Coba saja kita lihat, apakah posisi untuk programmer back-end atau UI/UX sudah terdidik dengan baik melalui kurikulum? Jawabannya tidak. Tidak sama sekali, setidaknya jika kita memperhatikan universitas-universitas negeri yang konon jempolan di Indonesia.

Di Indonesia, kampus kemudian terlihat sangat ketinggalan zaman menanggapi perubahan. Tempat yang diharapkan dapat mendidik manusianya menjadi sumber daya berkualitas, justru terlihat usang. Mindset yang masih kuno sekali, hingga kurikulum yang terlihat sangat basi, menjadi hal yang mau tidak mau dihadapi mahasiswa-mahasiswa kita di kampus negeri.

Memang kita tidak bisa naif. Di luar negri pun, banyak yang menjadi ahli di bidang-bidang pekerjaan baru itu bukan semata-mata karena didikan kurikulum di universitas. Tetapi environment universitas lah yang membuat tempat inovasi-inovasi dilahirkan.

Salah satu sebabnya adalah karena hubungan kampus dan industri teknologi yang begitu erat. Hubungan alumni dengan kampus pun banyak yang didasari keinginan untuk kerjasama yang saling membangun. Kampus yang terpapar dengan perkembangan industri baru, dan perusahaan teknologi (melalui alumni) yang bisa mendapatkan talenta terbaik. Berbeda dengan hubungan alumni dan kampus di Indonesia yang sepertinya lebih banyak diisi kegiatan makan-makan dan nostalgia. Oh.., atau mencari kendaraan politik.

Kembali ke soal 1000 startup, kini ketika pemerintah sedang gencar-gencarnya membangun startup, ada satu pertanyaan besar yang menjadi PR; yakinkah sumber daya manusia kita siap untuk lahirnya 1000 startup digital di Indonesia?