Home  »  News   »  
News

Studi: Kasus Pelecehan via Online Semakin Tinggi

[Foto: psu.edu]
Di era digital saat ini, berselancar di internet merupakan suatu hal yang lazim dilakukan banyak orang. Salah satu bentuknya adalah mengirim pesan secara acak melalui online. Namun jika Anda senang melakukan kegiatan daring tersebut, tampaknya Anda perlu waspada. Pasalnya, kini semakin banyak kasus pelecehan di internet.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Pew Research Center, menunjukkan bahwa kasus pelecehan via online terus mengalami peningkatan selama bertahun-tahun.

Data memperlihatkan, sebanyak 41 persen orang dewasa di Amerika Serikat yang disurvei mengaku sudah dilecehkan di media daring. Survei tersebut juga menemukan 66 persen responden yang mendapati pelecehan daring terhadap penggunaan internet lainnya.

Sementara itu, dari segi jenis kelamin, studi itu menunjukkan wanita lebih cenderung dilecehkan secara daring, dengan angka 44 persen untuk kaum hawa dan 37 persen untuk kaum pria.

Studi itu mengatakan bahwa pengguna internet wanita lebih cenderung dilecehkan secara seksual. Buktinya, dalam survei itu, 53 persen wanita melaporkan sudah menerima gambar eksplisit yang tidak mereka kehendaki.

Angka pelecehan daring itu naik dari 2014. Data terakhir tiga tahun lalu menunjukkan, hanya 35 persen responden yang mengaku mendapat pelecehan secara daring. Dengan begitu, pelecehan daring sudah meningkat sebanyak enam persen dalam tiga tahun.

Perlakuan tidak menyenangkan di media sosial ini meliputi serangan nama panggilan, ancaman fisik, pernyataan memalukan, dan pelecehan seksual.


Selain itu, studi tersebut juga menemukan bahwa online stalking dengan tujuan teror, bertahan pada angka tujuh persen selama bertahun-tahun. Bukti ini dinilai sebagai hal baik bagi para ilmuwan. Ditambah, media sosial seperti Facebook dan Twitter, mengenalkan banyak perangkat dan pilihan untuk memblokir spammer dan troll.

Di Indonesia, kejahatan dari internet menyerang anak

Pada 2015 silam, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Maria Advianti, mengatakan bahwa ada 188 kejahatan anak dari internet pada 2011. Kasus itu meningkat hingga 2014. “Pada 2014 totalnya 932 kasus yang dilaporkan ke KPAI,” katanya, seperti dilansir dari Tempo.

Maria menjelaskan, kejahatan anak dari internet itu dibagi menjadi tujuh golongan dalam empat tahun. Yaitu, kekerasan seksual online yang mencapai 104 kasus. Anak korban pornografi dari internet yang mencapai 175 kasus. Anak korban pelecehan dari compact disk dengan 120 kasus.

Anak korban pornografi dari material cetak yang mencapai 260 kasus. Anak korban pornografi dari perilaku orang mencapai 25 kasus. Anak korban pornografi dari sumber lain mencapai 20 kasus. Dan kepemilikan media syur yang mencapai 228 kasus.

Menurut Maria, kasus terhadap anak itu paling banyak berasal dari jejaring sosial Facebook. “Mereka berkenalan dan terkadang, orang itu predator,” katanya.

Sementara itu, pada 2016, Subdirektorat Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, berhasil membongkar kasus kejahatan seksual dan pornografi online spesialis anak, serta menangkap empat orang tersangka. Modus para tersangka adalah membuat grup pada media sosial Facebook dengan nama Official Candys Group. Grup itu digunakan sebagai wadah untuk saling berbagi video maupun gambar yang memuat konten pornografi anak.

Sebelum bergabung, calon member akun Facebook wajib mengirimkan link video yang berisikan konten pornografi anak, pornografi jepang, dan pornografi kartun (animasi) ke grup Facebook tersebut. Setelah itu, barulah admin menyetujui untuk menjadi member. Member juga wajib membagikan link video yang memuat pornografi anak ke dalam grup Facebook maupun ke dalam What’s App grup.