Home  »  News   »  
News

Studi: Punya Banyak Akun Media Sosial Membuat Anda Depresi

[Foto: Pixabay.com]
Hidup di zaman yang seba cepat dan banyak tuntutan pasti membuat stres, dan menurut sebuah studi, generasi milenial (mereka yang berusia antara 18 hingga 35 tahun) adalah generasi yang paling rentan stres. Mereka yang termasuk ke dalam generasi milenial cenderung lebih mudah cemas dibandingkan generasi-generasi sebelumnya, seperti generasi Baby Boomers misalnya.

Dalam banyak kasus, stress, depresi dan kecemasan berlebihan berpotensi untuk memperbesar resiko bunuh diri. Di Indonesia sendiri, pada tahun 2013 terdapat 840 kasus bunuh diri, walaupun data tersebut mengacu kepada beberapa generasi, tak hanya milenial.

Baru-baru ini, sebuah studi mengungkap bahwa depresi sebagai tahap lanjutan dari stress kerap terjadi pada manusia dewasa muda, atau yang saat ini tergolong generasi milenial. Studi yang dilakukan tim peneliti di Pusat Penelitian Media, Teknologi, dan Kesehatan di University of Pittsburgh ini menemukan, semakin banyak seseorang menggunakan platform media sosial, maka potensi depresi akan semakin besar.

Menurut studi tersebut, rata-rata orang dewasa muda yang memiliki akun di tujuh hingga sebelas platform media sosial memiliki potensi tiga kali lebih besar menunjukkan gejala depresi dan kecemasan akut dibandingkan orang dewasa seumurnya yang menggunakan nol hingga dua platform. Platform-platform yang paling signifikan termasuk Facebook, Instagram, YouTube, Snapchat, Twitter, Google Plus, Tumblr, Reddit, Vine, dan LinkedIn.


“Hubungan antara depresi dengan penggunaan media sosial ini cukup kuat, sehingga dokter seringkali bertanya kepada pasien yang menunjukkan gejala depresi dan kecemasan tentang kebiasaan menggunakan media sosial,” kata penulis dan peneliti senior Dokter Brian A Primack, MD, PhD. “Dokter biasanya juga memberi konsultasi kepada pasiennya, bahwa penggunaan media sosial ini mungkin berhubungan dengan gejala depresi yang mereka alami.”

Menurut dia, memang penelitian ini belum bisa menentukan apakah gejala depresi yang dirasakan pengguna media sosial ini berhubungan jumlah platform yang mereka gunakan secara langsung, ataukah ada sesuatu tentang penggunaan beberapa platform media sosial yang menyebabkan depresi dan kecemasan. Namun menurut Dr. Primack, kedua kasus tersebut patut dipertimbangkan.

“Karena media sosial sudah menjadi bagian yang terintegrasi dari interaksi antar manusia, maka sangat penting bagi para dokter yang memeriksa pasien dewasa muda untuk mengenali apakah kebiasaan mereka menggunakan media sosial termasuk positif dan membangun, ataukah kebiasaan tersebut malah berpotensi menimbulkan masalah,” ujarnya.

Pada studi yang juga melibatkan Dr. Primack sebelumnya, ditemukan juga bahwa terdapat hubungan yang jelas antara penggunaan media sosial dan peningkatan depresi terhadap orang dewasa muda. Studi yang dilakukan tahun 2014 ini melibatkan sampel 1.787 pengguna berusia antara 19-32 tahun. Selain aktivitas media sosial, para peneliti juga mempertimbangkan kontributor yang bisa melatar-belakangi terjadinya depresi, seperti jenis kelamin, ras, status hubungan, pendapatan, pendidikan, dan total waktu yang dihabiskan di media sosial.

Hasilnya, sampel yang menggunakan lebih dari satu media sosial menjadi lebih rentan depresi karena beberapa hal. Yang pertama, mereka diharuskan untuk multi-tasking, yakni beralih dari satu platform media sosial kepada platform lainnya, yang telah terbukti bisa mengganggu fungsi kognitif dan keseimbangan mental. Yang kedua, aturan dan konfigurasi dari masing-masing platform berbeda-beda, sehingga bisa memicu kebingungan dan menimbulkan emosi negatif. Yang terakhir, adanya perasaan menyesal sudah membuang waktu di banyak media sosial.

Menurut anggota tim peneliti Lui yi Lin,  karena ini adalah studi cross-sectional, maka sebab dan akibat tak bisa dipisahkan. “Mungkin orang-orang yang sudah mengalami depresi itu beralih ke media sosial untuk mengisi kekosongan,” katanya.

Lin mengungkapkan, eksposur di media sosial itu sendiri bisa memicu ketidak-bahagiaan. Misalnya, ketika seseorang menemukan temannya di media sosial terlihat memiliki kehidupan yang lebih sukses, atau berhasil meraih sesuatu yang tak bisa dia raih, maka akan timbul kekecewaan dan rasa iri hati. Lalu ketika seseorang terlalu lama menghabiskan waktu di media sosial, dia akan merasa tak berguna dan mempengaruhi perasaan. Potensi depresi lainnya adalah kerentanan terhadap cyber-bullying. Makin lama seseorang menghabiskan waktu di media sosial, dia bisa melihat orang lain di-bully atau mengalami sendiri cyber-bullying yang berpotensi besar menyebabkan ketidak-bahagiaan dan depresi.