Home  »  Review   »  
Review

Theranos – Startup yang Dipuja, Startup yang Dihina

[Foto: Elizabeth Holmes di sebuah lab Theranos di Newark, California pada tahun 2015 | Carlos Chavarria | The New York Times]
Pada umumnya, untuk melakukan pengecekan darah, seorang pasien harus melewati prosedur yang panjang, lama, dan pastinya mahal. Namun, pada tahun 2003 sebuah startup asal Amerika Serikat yang bernama Theranos bertekad untuk mengubah paradigma itu. Dengan teknologi bernama “Edison” yang dikembangkannya, Theranos menjanjikan metode pengecekan darah yang jauh lebih murah, cepat, dan akurat. Mereka mengklaim bahwa setetes darah sudah cukup untuk melakukan beragam tes lab pada pasien, mulai dari tes kolesterol hingga tes DNA.

Wanita Fenomenal – Elizabeth Holmes

Elizabeth Holmes, CEO sekaligus pendiri Theranos, adalah seorang mahasiswi Standford University yang memilih untuk drop out dari bangku perkuliahan demi merintis bisnisnya sendiri di usia 19 tahun. Kerja kerasnya pun membuahkan hasil yang manis. Valuasi startup yang dibangunnya ini dikabarkan sudah mencapai angka $9 miliar (sekitar Rp 119 triliun) pada tahun 2014. Holmes bahkan pernah didaulat sebagai salah satu wanita termuda yang masuk ke dalam jajaran 400 orang terkaya di Amerika Serikat. Selain itu, sampai tahun 2014 saja Holmes sudah memegang 18 hak paten AS dan 66 hak paten di luar AS.

[Foto: Elizabeth Holmes | fortune.com]
Namun, beberapa minggu ke belakang ini, reputasi Theranos kian terancam. Hal ini akhirnya membuat nilai valuasi perusahaan ini mengalami penurunan drastis. Startup ini harus mengecap pahitnya kecaman dan tuduhan penipuan dari berbagai pihak mulai dari media, pemerintah, bahkan mitra bisnis mereka sendiri.

Kontroversi Theranos

Kontroversi ini awalnya dipicu oleh sebuah artikel The Wall Street Journal yang diterbitkan pada bulan Oktober 2015. Dalam artikel tersebut, keabsahan dan akurasi proses pengecekan darah dengan menggunakan teknologi Edison yang dikembangkan Theranos mulai dipertanyakan. Media ini menuduh startup tersebut sebenarnya tidak menggunakan teknologinya sendiri dalam melakukan kebanyakan pengecekan darah. Dari hasil penelusuran mereka, didapati bahwa sebenarnya Theranos justru menggunakan pihak ketiga untuk pengecekan sampel darah mereka. Dan pihak ketiga ini adalah para pemain lama yang sudah berkecimpung di dunia pengetesan sampel darah dan DNA.

Menyusul artikel tersebut, sebuah laporan independen dari pemerintah AS yang dijalankan oleh Centers for Medicare and Medicaid Services juga menunjukkan adanya ketidakakuratan pada hasil tes mereka. Lembaga ini juga menemukan sejumlah kekurangan dalam penanganan sampel selama inspeksi mereka yang terbaru.

Sampai saat ini juga, Theranos masih terus membantah dan menangkis seluruh tuduhan yang dilayangkan kepadanya. Namun, reputasi Theranos dan kepercayaan publik padanya sudah terlanjur menukik dengan tajam. Dikarenakan kontroversi ini, valuasi Theranos dilaporkan anjlok dari angka $9 miliar ke angka $800 juta saja (dari sekitar Rp 119 triliun ke sekitar Rp 10 triliun).

Forbes menyatakan bahwa ada tiga faktor utama yang mempengaruhi hal ini:

1. Terlalu banyak rahasia dan hal yang tidak diketahui

Selama ini, Theranos memang selalu bekerja secara diam-diam dan detail metode yang mereka lakukan pun cenderung dirahasiakan dari ranah publik. Startup ini memang mengklaim bahwa metodenya bisa menggantikan metode cek darah yang terdahulu. Namun, Theranos sama sekali tidak memberikan data yang bisa membuktikan bahwa metodenya itu memang benar-benar bisa bekerja. Mereka selalu beralasan tidak bisa memberikan datanya, karena itu terkait dengan teknologi rahasia mereka.

Karenanya, banyak ahli medis yang geram dengan metode kerja Theranos ini. Menurut para ahli ini, untuk bisa membuktikan klaim mereka, sebenarnya Theranos tidak perlu membeberkan semua rahasia mereka. Yang diperlukan hanyalah penjelasan mengenai metode mereka dan data yang bisa membuktikan bahwa metode mereka benar-benar bekerja dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.


 2. Theranos belum memberikan laporan

Holmes berjanji akan mempublikasikan data perusahaan selama enam bulan. Tetapi, sejak bulan April lalu mereka sama sekali belum menyerahkan satupun laporan.

Pada awalnya, Theranos sempat mendapatkan persetujuan dari Food and Drug Administration karena mereka berhasil melakukan pengecekan pada virus herpes dengan menggunakan Edison. Namun belakangan, FDA justru memberlakukan batasan yang disinyalir membuat mereka berhenti menggunakan teknologi Edison.

Yang mengejutkannya, menurut laporan The Wall Street Journal pada bulan Mei lalu, Theranos menarik ribuan hasil tes darah Edison selama dua tahun, lalu mengeluarkan lagi laporan hasil tes darah yang sudah diperbaiki.

3. Target pasar Theranos tidaklah realistis

Banyak pengamat yang ragu bahwa nilai aset Theranos bisa menyamai para pemain lama seperti Laboratory Corp. (kapitalisasi pasar: $13 miliar) dan Quest Diagnostics -saat itu valuasi Theranos masih $11 miliar. Theranos yang mematok harga yang jauh lebih rendah untuk layanan pengecekan darah harus bisa meningkatkan margin pada tesnya dan mengajak lebih banyak orang untuk melakukan pengecekan menggunakan metodenya.

[Foto: Lab Theranos di Palo Alto pada tahun 2014 | Drew Kelly | Wired.com]

Peran Serta Media Melambungkan Theranos

Lalu, mengapa layanan yang ditawarkan Theranos bisa begitu populer meskipun hasilnya tidak bisa dipertanggungjawabkan dan belum bisa dibuktikan keakuratannya? Rupanya, dalam kasus ini pihak media lah yang memegang peranan penting atas naiknya pamor Theranos.

Dari sejak awal, kalangan pers terlihat begitu mendukung Holmes dan startupnya tanpa bersikap kritis pada teknologi yang tengah dikembangkannya. Hal ini juga didukung oleh pujian yang terus-menerus dilontarkan kepada Holmes dan Theranos. Holmes bahkan medapatkan julukan sebagai “the next Steve Jobs or Bill Gates.” Sebuah julukan yang begitu prestisius dan menjanjikan. Lalu, karena sudah berulang kali diucapkan, lambat laun semua pujian dan pujaan tersebut dilihat sebagai sebuah fakta yang tak terelakkan lagi.

Lalu, bagaimana caranya Holmes dan Theranos bisa mendapat dukungan yang begitu besar di kalangan pers di Silicon Valley? Rupanya, kuncinya terletak pada sistem pemberitaan yang lazim terjadi di dunia teknologi.

Menurut Vanity Fair, sistem yang berjalan dalam dunia pers bidang teknologi di Silicon Valley telah tertata sedemikian rupa. Sistem ini seringkali mencegah agar reporter bersikap kritis atau menanyakan pertanyaan yang sulit dan menyudutkan. Jika seorang reporter atau penulis membuat tulisan yang kritis atau menyudutkan, maka kemungkinan besar mereka tidak akan mendapatkan kesempatan untuk mewawancara startup tersebut pada kesempatan selanjutnya.

Sementara itu, media yang menuliskan hal-hal positif tentang sebuah teknologi atau startup akan mendapatkan akses pada versi pra-rilis untuk teknologi yang berikutnya. Bahkan mungkin bisa jadi mendapatkan akses wawancara eksklusif.

Jika mereka mematuhi peraturan tak tertulis ini, maka media ini akan mendapatkan informasi yang lebih cepat dan lebih banyak untuk dipublikasikan. Dengan begitu, media ini akan mendapatkan page views yang makin banyak di situs mereka dan pujian di ranah digital media. Dan pada akhirnya, semua ini hanyalah sebuah permainan politik, dan bisnis.

Theranos Saat Ini

Saat ini, nilai aset Theranos masih stagnan di angka yang lebih ‘realistis’ yaitu $800 juta (sekitar Rp 10 triliun). Dengan penurusan valuasi Theranos ini, Holmes harus terdepak dari daftar usahawan wanita terkaya di Amerika Serikat dan daftar-daftar lain yang serupa. Holmes dijadwalkan untuk mempresentasikan data-data Theranos di pertemuan tahunan American Association for Clinical Chemistry (AACC) pada bulan Agustus mendatang.

Banyak pihak yang berharap bahwa semua tuduhan dan kejanggalan yang meliputi Theranos bisa diluruskan dalam pertemuan tersebut. Namun tentu saja, sampai hari itu datang, kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi atau hal apa lagi yang akan terungkap.

Suatu hal yang menarik, saking besarnya kasus ini, Hollywood bahkan dikabarkan akan membuat sebuah film yang mengangkat kasus Theranos ini. Tidak tanggung-tanggung, aktris yang didapuk untuk berperan sebagai Elizabeth Holmes adalah Jennifer Lawrence -aktris yang namanya melambung sejak peran utamanya di film The Hunger Games.

Dari kasus ini juga, kita bisa melihat betapa besarnya andil dan pengaruh pers pada dunia. Maka, sebagai pembaca kita juga harus selalu bersikap kritis dalam menanggapi berita dan informasi yang didapat dari media apapun (ya, termasuk blog LABANA ini). Jangan menelan bulat-bulat berita yang didapatkan karena tidak selamanya apa yang dikatakan oleh media sejalan dengan kenyataan yang ada. Kasus Theranos ini bisa menjadi contoh yang baik akan fenomena tersebut.